October 25, 2010

Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971

Penulis : Mochtar Mas’oed.
Tahun Terbit : 1989
Penerbit :  LP3ES
Jumlah Halaman : 248 + xxi

Buku ini bisa dikatakan buku klasik, dan saya beruntung mendapatkannya di sebuah rak di toko buku. Terselip di antara buku-buku bersampul lebih menarik dibanding buku ini yang lebih mirip lambang Golkar. Dilihat dari luar buku ini sama sekali tidak menarik, meskipun begitu bisa saya katakan kalau buku ini isinya adalah yang paling sederhana menguraikan struktur kekuasaan Orde Baru dibandingkan buku-buku sejenis yang ditulis oleh para Indonesianis asing seperti Richard Robinson atau William Liddle. Namun tidak berarti buku ini kalah berbobot dibandingkan buku yang ditulis oleh para Indonesianis asing.

Untuk mengurai permasalahan yang terjadi di awal Orde Baru ini, Mochtar Masoed mengutamakan pendekatan struktural dengan melihat relasi antara variabel-variabel ekonomi dan politik. Modifikasi pendekatan digunakan dengan mengkombinasikan teori otoritarian-birokratik dari Guillermo O'Donnell dengan korporatisme-negara'nya Philippe C. Schmitter. Kombinasi teori ini digunakan untuk menganalisa struktur ekonomi politik Indonesia di mana modernisasi dan industrialisasi yang digalakan oleh Orde Baru juga telah memunculkan otoritarianisme dan kecederungan negara yang otonom. Negara terlepas dari kepentingan masyarakat kelas menengah bawah dan melakukan stabilisasi politik tidak hanya melalui kekerasan tetapi dengan pembentukan-pembentukan organisasi yang disponsori negara untuk menjinakan setiap golongan yang beroposisi terhadap kebijakan ekonomi pemerintah. Artikulasi kepentingan borjuis nasional belum dapat mempengaruhi negara dikarenakan saat itu tidak kuatnya kelompok tersebut, maka negara melakukan modernisasi sebagai bentuk akomodasi terhadap pengaruh ekonomi internasional. Variabel kepentingan ekonomi internasional menjadi penting karena sejak 1966 Indonesia tidak terlepas dari dinamika kapitalisme internasional yang menjadi pendorong pembangunan industri di Indonesia.

Lingkup waktu pembahasan buku ini ialah antara tahun 1966-1971, saat pemerintahan baru pasca percobaan kudeta 30 September 1965 berupaya memapankan kekuasaannya. Upaya ini dijalankan dengan melakukan perombakan politik diikuti pembenahan ekonomi sebagai cara utama untuk memperoleh kepercayaan masyarakat dalam negeri dan komunitas internasional. Langkah politik paling besar ialah mengganti para pendukung Sukarno dengan orang-orang yang dianggap sejalan dengan kebijakan Orde Baru. Hal ini dilakukan untuk menciptakan tertib politik guna menghindari ketidakstabilan akibat pertentangan-pertentangan kepentingan politik dan ideologis, terutama penentangan terhadap kebijakan baru yang ditempuh. Semakin mengguritanya kekuasaan Orde Baru dipercepat dengan dibentuknya berbagai organisasi-organisasi korporatis yang langsung berada di bawah arahan pemerintah.

Program ekonomi yang menjadi fokus utama pemerintahan baru ini ialah dengan mengundang partisipasi kapitalis internasional untuk berinvestasi di Indonesia. Langkah ini diambil untuk memperbaiki kondisi ekonomi yang hampir porak-poranda akibat huru-hara politik yang terjadi selama pemerintahan Orde Lama. Kebijakan ekonomi baru ini secara otomatis merubah struktur ekonomi Indonesia menjadi lebih terbuka dan liberal. Akibat dari kebijakan politik dan ekonomi ini maka munculah patronase berlebihan terhadap lembaga kepresidenan di mana kemudahan ekonomi dan akses politik hanya berada di lingkaran-lingkaran terdekat presiden, baik pejabat birokrat, militer, maupun pengusaha yang diberikan hak monopoli. Topangan kekuasaan inilah yang kemudian mampu bertahan selama 32 tahun.

Mewacananya pemberian gelar pahlawan untuk Suharto sekarang ini telah juga (untuk beberapa kalangan) membangkitkan kerinduan akan masa Orde Baru. Letak relevansi buku ini yang paling penting ialah menguraikan betapa busuknya pemerintahan Orde Baru di mana akses ekonomi dan politik hanya dimiliki oleh segelintir elit. Kestabilan ekonomi selalu menjadi alasan utama kerinduan tersebut nyatanya dapat dipertahankan dari hutang luar negeri yang begitu besar (yang pada akhirnya meledak pada 1997). Kerinduan yang mungkin cocok untuk Pulau Jawa saja, karena pada pemerintahan Orde Baru, melalui pengelolaan negara yang sentralistis telah menutup pintu desentralisasi dan otonomi daerah, dan tentu saja hal ini berarti memperkecil (yang memang sudah terbatas) partisipasi masyarakat di luar Jawa.

2 comments: