Penulis : Martin Van Bruinessen
Penerbit : Yayasan Bentang Budaya (Yogyakarta)
Tahun Terbit : 1999 (cetakan kedua)
Tebal Halaman :367 + xxviii
Buku ini merupakan kumpulan tulisan Martin
van Bruinessen yang pernah diterbitkan di beberapa media massa seperti majalah
Tempo dan harian Pikiran Rakyat pada pertengahan 1980-an dan 1990-an. Meski
isinya menarik karena terdapat tulisan-tulisan Bruinesen tentang Islam di
Indonesia, tetapi buku ini tidak seterkenal seperti Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat atau NU : Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian
Wacana Baru. Padahal artikel dan makalah penelitian yang dibukukan inilah yang mengawali penelitian
Bruinessen mengenai Islam di Indonesia selama tiga dekade berikutnya. Hasil
penelitiannya di Bandung ini yang kemudian mengantar Bruinessen untuk terlibat
dalam penelitian-penelitian selanjutnya mengenai ulama dan pesantren di
Indonesia.
Bagian pertama buku berisi kumpulan
artikel yang pernah diterbitkan secara terpisah yang mengangkat pengalaman
Bruinessen ketika melakukan penelitian di area sekitar Pagarsih – Jamika di
kota Bandung selama kurun waktu 1982-1983. Selama melakukan penelitian satu setengah
tahun, Bruinessen tinggal dan menjadi bagian dari penduduk sebuah kampung kumuh
bernama Sukapakir. Bertetangga dengan keluarga-keluarga kelas menengah bawah
yang seakan tidak pernah dapat keluar dari kemiskinan kecuali memenangi undian
Porkas. Terasa digiring kembali ke suasana kampung di tengah Kota Bandung era
1980’an lengkap dengan cerita-cerita getir kehidupan para warganya. Kisah
orang-orang kecil yang senantiasa berikhtiar tetapi terus menerus gagal.
Di antara masyarakat Sukapakir yang diamati
terdapat sekelompok kecil orang yang mana Bruinessen menaruh lebih
perhatiannya, yakni orang-orang yang lebih taat keislaman dan puritan dibanding
masyarakat lainnya. Orang-orang inilah yang tergabung dalam Persis (Persatuan
Islam), sebuah organisasi Islam konservatif yang berpusat di Bandung.
Bruinessen mengikuti para pengikut Persis ini dari kesehariannya di lingkungan
tempat tinggal, dan bagaimana fundamentalisme agama versi Persis berada dalam
lingkungan kumuh dan kondisi kemiskinan. Beberapa kesimpulan Bruinessen
mengenai fundamentalisme secara konseptual cukup baru untuk saat itu karena
menguji teori deprivasi, dan dituliskan secara khusus yang ditempatkan pada
bagian kedua dalam buku ini.
Dari buku ini juga terselip cerita-cerita
menarik yang menceritakan awal mula kuliner dan jajanan pasar yang sekarang
dikenal luas di Bandung seperti Siomay dan Baso tahu. Kemudian tersaji juga
cerita bagaimana sebuah profesi biasanya identik dengan latar belakang asal si
pelaku usaha, seperti tukang sepuh emas yang banyak berasal dari Garut, atau
penjelasan yang menerangkan kenapa Indramayu sering dianggap sebagai penyuplai terbesar
tenaga kerja untuk red light district
di Kota Bandung. Jika pada buku dan tulisan Haryoto Kunto kita akan membaca
keindahan dan keningratan kota Bandung, justru dalam Wajah Bandoeng Tempo Doeloe versi Bruinessen ini memajang bingkai
sisi gelap kota Bandung.
Setelah bercerita tentang Sukapakir
dan liku hidup warganya, buku ini melaju ke bagian kedua yang terdiri dari beberapa
essay mengenai politik Islam di Indonesia yang pernah terbit tahun 90-an. Bruinessen
melihat bagaimana peran ulama dan cendikiawan muslim saat itu ikut membentuk
wajah politik di Indonesia. Tulisan-tulisan Bruinessen ini tidak dapat
dilepaskan dari konteks politik Orde Baru terhadap umat Islam., menjadi menarik
karena di satu sisi kegiatan umat Islam diawasi dan dikontrol agar tetap jinak,
di satu sisi represifitas Orde Baru telah juga telah memancing dinamika
pergulatan intelektualitas yang luar biasa di kalangan para cendikiawan muslim
Indonesia. Dalam konteks kajian Politik Islam Indonesia, pendekatan Bruinessen
berbeda dari pendekatan modernis sebelumnya yang mendominasi penulisan dan pembingkaian
Islam di Indonesia yang sedikitnya mengesampingkan peran ulama-ulama
tradisional. Melalui pendekatan antropologi dan sosiologi, kajian Islam di
Indonesia menjadi lebih kaya dan mampu menunjukan pemaknaan Islam yang beragam
di kalangan masyarakat.
Diskursus mengenai fundametalisme dan
radikalisme Islam dibahas di salah satu tulisan di bagian ini. Memulainya dengan
coba meredefinisi fundamentalisme Islam dari berbagai narasi politik Islam dan
perspektif. Pemaknaan fundamentalisme berpengaruh pada analisa bagaimana
gerakan fundamentalis Islam tersebut dijelaskan. Dari penelitian lapangan
langsung, Bruinessen mempunyai penjelasannya sendiri mengenai kelompok garis
keras sekaligus menguji dan mengkritik ketidaktepatan teori deprivasi relatif
untuk menjelaskan munculnya fundamentalisme Islam. Menurut Bruinessen, Radikalisme
Islam sukar ditemui dari lingkungan miskin kumuh, namun tumbuh menyemai di
kalangan orang-orang yang lebih berada, lebih berpendidikan, dan mempunyai
ambisi yang lebih besar. Dengan kata lain, radikalisme justru digerakan oleh
orang-orang kelas menengah, mereka yang mempunyai waktu luang untuk memulai
ambisi politik karena sudah tidak lagi
sibuk mengurusi urusan perut.
Pada akhirnya Bruinessen juga menulis
mengenai hubungan Islam dengan negara. Diskursus lama yang memancing perdebatan
bahkan pemberontakan sejak negara ini berdiri, dan Bruinessen bercerita
bagaimana dinamika gerakan politik Islam saat Orde Baru. Secara garis besar,
para elit politik Islam menginginkan negara yang lebih mengakomodir hukum dan
ajaran Islam ke dalam format sistem politik dan kenegaraan secara formal,
sementara di sisi lain pemerintah yang berkuasa secara prinsipil tidak mengakomodir
keinginan kelompok Islam tersebut. Meskipun mesti dicatat bahwa respon negara
terhadap keinginan umat Islam itu tidak melulu menolak mentah-mentah dan
beberapa kebijakannya menguntungkan umat Islam sebagai hasil dari proses
politik.
Hal yang menyenangkannya dari buku ini
ialah gaya bahasanya yang cukup ringan jauh dari kesan tulisan akademisi yang
penuh dengan istilah-istilah ilmiah atau bahasa politik ala pengamat politik
kekinian. Selain sebagai literatur mengenai politik Islam Indonesia, buku ini
direkomendasikan untuk dibaca, khususnya, bagi warga Bandung yang ingin nostalgia
ke Bandung 80’an, atau bahkan untuk para pengkritik Ridwan Kamil sebagai bahan
berdebat bahwa kebijakannya terhadap orang-orang miskin sekarang sesungguhnya
tidak berbeda dibanding Ateng Wahyudi tiga puluh tahun yang lalu.
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete