September 9, 2016

Rakyat Kecil, Islam dan Politik

Judul : Rakyat Kecil, Islam dan Politik
Penulis : Martin Van Bruinessen
Penerbit : Yayasan Bentang Budaya (Yogyakarta)
Tahun Terbit  : 1999 (cetakan kedua)
Tebal Halaman  :367 + xxviii


Buku ini merupakan kumpulan tulisan Martin van Bruinessen yang pernah diterbitkan di beberapa media massa seperti majalah Tempo dan harian Pikiran Rakyat pada pertengahan 1980-an dan 1990-an. Meski isinya menarik karena terdapat tulisan-tulisan Bruinesen tentang Islam di Indonesia, tetapi buku ini tidak seterkenal seperti Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat atau NU : Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru. Padahal artikel dan makalah penelitian yang dibukukan inilah yang mengawali penelitian Bruinessen mengenai Islam di Indonesia selama tiga dekade berikutnya. Hasil penelitiannya di Bandung ini yang kemudian mengantar Bruinessen untuk terlibat dalam penelitian-penelitian selanjutnya mengenai ulama dan pesantren di Indonesia.

Bagian pertama buku berisi kumpulan artikel yang pernah diterbitkan secara terpisah yang mengangkat pengalaman Bruinessen ketika melakukan penelitian di area sekitar Pagarsih – Jamika di kota Bandung selama kurun waktu 1982-1983. Selama melakukan penelitian satu setengah tahun, Bruinessen tinggal dan menjadi bagian dari penduduk sebuah kampung kumuh bernama Sukapakir. Bertetangga dengan keluarga-keluarga kelas menengah bawah yang seakan tidak pernah dapat keluar dari kemiskinan kecuali memenangi undian Porkas. Terasa digiring kembali ke suasana kampung di tengah Kota Bandung era 1980’an lengkap dengan cerita-cerita getir kehidupan para warganya. Kisah orang-orang kecil yang senantiasa berikhtiar tetapi terus menerus gagal.

Di antara masyarakat Sukapakir yang diamati terdapat sekelompok kecil orang yang mana Bruinessen menaruh lebih perhatiannya, yakni orang-orang yang lebih taat keislaman dan puritan dibanding masyarakat lainnya. Orang-orang inilah yang tergabung dalam Persis (Persatuan Islam), sebuah organisasi Islam konservatif yang berpusat di Bandung. Bruinessen mengikuti para pengikut Persis ini dari kesehariannya di lingkungan tempat tinggal, dan bagaimana fundamentalisme agama versi Persis berada dalam lingkungan kumuh dan kondisi kemiskinan. Beberapa kesimpulan Bruinessen mengenai fundamentalisme secara konseptual cukup baru untuk saat itu karena menguji teori deprivasi, dan dituliskan secara khusus yang ditempatkan pada bagian kedua dalam buku ini.

Dari buku ini juga terselip cerita-cerita menarik yang menceritakan awal mula kuliner dan jajanan pasar yang sekarang dikenal luas di Bandung seperti Siomay dan Baso tahu. Kemudian tersaji juga cerita bagaimana sebuah profesi biasanya identik dengan latar belakang asal si pelaku usaha, seperti tukang sepuh emas yang banyak berasal dari Garut, atau penjelasan yang menerangkan kenapa Indramayu sering dianggap sebagai penyuplai terbesar tenaga kerja untuk red light district di Kota Bandung. Jika pada buku dan tulisan Haryoto Kunto kita akan membaca keindahan dan keningratan kota Bandung, justru dalam Wajah Bandoeng Tempo Doeloe versi Bruinessen ini memajang bingkai sisi gelap kota Bandung.

Setelah bercerita tentang Sukapakir dan liku hidup warganya, buku ini melaju ke bagian kedua yang terdiri dari beberapa essay mengenai politik Islam di Indonesia yang pernah terbit tahun 90-an. Bruinessen melihat bagaimana peran ulama dan cendikiawan muslim saat itu ikut membentuk wajah politik di Indonesia. Tulisan-tulisan Bruinessen ini tidak dapat dilepaskan dari konteks politik Orde Baru terhadap umat Islam., menjadi menarik karena di satu sisi kegiatan umat Islam diawasi dan dikontrol agar tetap jinak, di satu sisi represifitas Orde Baru telah juga telah memancing dinamika pergulatan intelektualitas yang luar biasa di kalangan para cendikiawan muslim Indonesia. Dalam konteks kajian Politik Islam Indonesia, pendekatan Bruinessen berbeda dari pendekatan modernis sebelumnya yang mendominasi penulisan dan pembingkaian Islam di Indonesia yang sedikitnya mengesampingkan peran ulama-ulama tradisional. Melalui pendekatan antropologi dan sosiologi, kajian Islam di Indonesia menjadi lebih kaya dan mampu menunjukan pemaknaan Islam yang beragam di kalangan masyarakat.

Diskursus mengenai fundametalisme dan radikalisme Islam dibahas di salah satu tulisan di bagian ini. Memulainya dengan coba meredefinisi fundamentalisme Islam dari berbagai narasi politik Islam dan perspektif. Pemaknaan fundamentalisme berpengaruh pada analisa bagaimana gerakan fundamentalis Islam tersebut dijelaskan. Dari penelitian lapangan langsung, Bruinessen mempunyai penjelasannya sendiri mengenai kelompok garis keras sekaligus menguji dan mengkritik ketidaktepatan teori deprivasi relatif untuk menjelaskan munculnya fundamentalisme Islam. Menurut Bruinessen, Radikalisme Islam sukar ditemui dari lingkungan miskin kumuh, namun tumbuh menyemai di kalangan orang-orang yang lebih berada, lebih berpendidikan, dan mempunyai ambisi yang lebih besar. Dengan kata lain, radikalisme justru digerakan oleh orang-orang kelas menengah, mereka yang mempunyai waktu luang untuk memulai ambisi politik karena  sudah tidak lagi sibuk mengurusi urusan perut.

Pada akhirnya Bruinessen juga menulis mengenai hubungan Islam dengan negara. Diskursus lama yang memancing perdebatan bahkan pemberontakan sejak negara ini berdiri, dan Bruinessen bercerita bagaimana dinamika gerakan politik Islam saat Orde Baru. Secara garis besar, para elit politik Islam menginginkan negara yang lebih mengakomodir hukum dan ajaran Islam ke dalam format sistem politik dan kenegaraan secara formal, sementara di sisi lain pemerintah yang berkuasa secara prinsipil tidak mengakomodir keinginan kelompok Islam tersebut. Meskipun mesti dicatat bahwa respon negara terhadap keinginan umat Islam itu tidak melulu menolak mentah-mentah dan beberapa kebijakannya menguntungkan umat Islam sebagai hasil dari proses politik.

Hal yang menyenangkannya dari buku ini ialah gaya bahasanya yang cukup ringan jauh dari kesan tulisan akademisi yang penuh dengan istilah-istilah ilmiah atau bahasa politik ala pengamat politik kekinian. Selain sebagai literatur mengenai politik Islam Indonesia, buku ini direkomendasikan untuk dibaca, khususnya, bagi warga Bandung yang ingin nostalgia ke Bandung 80’an, atau bahkan untuk para pengkritik Ridwan Kamil sebagai bahan berdebat bahwa kebijakannya terhadap orang-orang miskin sekarang sesungguhnya tidak berbeda dibanding Ateng Wahyudi tiga puluh tahun yang lalu.

2 comments:

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete