May 18, 2024

Gereja Katolik di Kesultanan Palembang?

Salah satu hal yang saya lakukan jika mengalami writer’s block adalah mencari teman yang bisa diajak mengobrol. Seperti yang terjadi saat tengah merevisi proposal riset tentang politik tata kelola air di Sumatera Selatan. Seorang teman langsung saya hubungi untuk mendapatkan informasi sekaligus inspirasi. Pengetahuan beliau tentang Palembang dan Sumatera Selatan sangat luas namun beresiko, karena jika berbincang dengan beliau barang tentu tidak bisa sebentar. Dalam delapan jam perbincangan yang ditemani entah berapa belas batang rokok dan berapa cangkir kopi tersebut, teman itu sempat bercerita bahwa dia mendapatkan cerita dari mendiang sejarawan besar Palembang jika di Belanda terdapat lukisan mengenai penyerangan VOC ke Palembang pada 1659 yang bisa bikin orang Palembang meradang. Menurutnya di lukisan itu tergambar adanya gereja portugis tepat di depan istana penguasa Palembang yang terbakar. Istana tersebut dalam sumber sejarah Palembang lebih dikenal dengan nama Kuto Gawang.

Dikarenakan masih penasaran, di kemudian hari saya coba telusuri di internet. Berikut ini adalah hasilnya :

Penelusuran pertama saya menemukan ini dengan waktu pembuatan 1725 dan ini yang dibuat pada 1719. Kedua situs tersebut merupakan situs galeri seni. Lukisan dengan judul dalam bahasa Prancis La Ville de Palimbang dans l'Ile de Sumatra, yang jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia artinya Kota Palembang di Sumatera. Lukisan cetak tersebut diterbitkan oleh Pierre van Der Aa, seorang pengusaha percetakan berbasis di Leiden yang banyak menerbitkan peta, atlas, dan gambar cetak.

Lukisan tersebut terdiri dari dua gambar, atas dan bawah, yang menggambarkan peristiwa penyerangan VOC ke Palembang pada 1659. Kedua gambar tersebut selain memiliki perspektif yang berbeda juga merekam waktu yang berbeda saat penyerangan.

Lukisan atas digambarkan dengan perspektif yang berasal dari arah timur menyorot ke barat. Pada gambar tersebut terlihat armada kapal laut VOC masih berada di sekitar Pulau Kemaro dan Plaju. Pada gambar bawah perspektif berasal dari arah selatan, dan menggambarkan armada sedang menggempur benteng Palembang. Lukisan tersebut merupakan hasil cetak gambar menggunakan teknik engraving printing. Sebuah metode cetak dengan terlebih dahulu mengukir plat metal, biasanya berbahan perunggu, lalu permukaannya diolesi cat hitam untuk kemudian ditempelkan ke media kertas atau kain. Hasil dari transfer cetakan tersebut yang kemudian menjadi lukisan.

Menariknya lukisan La Ville de Palimbang dans l'Ile de Sumatra terdapat versi berwarna seperti koleksi yang dimiliki Maria Bristoll, seorang kolektor seni dan barang antik. Informasi lainnya disebutkan bahwa terdapat beberapa versi cetakan. Pada gambar yang dirilis pada 1719 ikut tersemat pada buku berjudul Les Voyages du sieur Albert de Mandelslo‘. Catatan perjalanan Albert de Mandelslo yang telah diterjermahkan ke bahasa Inggris bisa diunduh di sini, tetapi sayangnya dalam versi bahasa Inggris tersebut tidak terdapat lukisan La Ville de Palimbang.

Jika lukisan La Ville de Palimbang dans l'Ile de Sumatra diperbesar baik yang berwarna ataupun hitam putih, terlihat lebih jelas bentuk Palais du Roi atau Istana Raja. Tergambar seperti bangunan gedung tinggi berkubah dan berbeda dari bangunan di sekitarnya yang lebih rendah dan berbahan kayu. Kemegahan tersebut ditambah ornamen atap yang nampak seperti garis menyilang, salib. Rupanya lukisan ini yang memancing keributan. Bagaimana bisa Kesultanan Palembang yang dikenal sebagai kesultanan Islam tepat di tengah kotanya terdapat bangunan gereja?

Lukisan La Ville de Palimbang memunculkan banyak asumsi. Ada anggapan bahwa telah ada pengaruh katolik di Palembang melalui hubungan dagangnya dengan Portugis. Belanda saat itu tengah berkonflik dengan negara Iberia tersebut sehingga bukanlah hal yang aneh jika armada Belanda tanpa ragu menghancurkan benteng atau gereja Portugis. Akan tetapi, La Ville de Palimbang bukan satu-satunya lukisan yang menggambarkan penyerangan VOC ke Palembang pada 1659.

Seorang penjelajah Belanda bernama Johan Nieuhof yang bekerja untuk VOC pada 1650-1667, mencatat kisah perjalanannya ke berbagai tempat termasuk Palembang. Setiap mengunjungi suatu daerah baru Nieuhoff akan mencatat kondisi suatu tempat, penduduk termasuk kebiasaan dan gaya hidup penduduk di tempat tersebut, juga mencatat jenis-jenis flora dan fauna yang ditemuinya, dan yang paling memukau adalah ilustrasi yang ia gambarkan. Kisah penjelajahan Nieuhof terentang luas yang terlihat pada catatan-catatannya mengenai Brazil, Cina, Asia Tenggara, India, dan Persia.

Selama berkunjung atau bekerja di Amerika Latin dan Asia, Nieuhof selalu menulis jurnal perjalanan beserta ilustrasinya yang kemudian ia tinggalkan di Belanda saat kepulangannya yang singkat pada 1658. Kumpulan kisah perjalanan itu kemudian yang diterbitkan oleh saudaranya Hendri  pada 1665 melalui penerbit Jacob van Meurs dengan judul Het gezantschap der Neêrlandtsche Oost-Indische Compagnie, aan den grooten Tartarischen Cham, den tegenwoordigen keizer van China. Buku tersebut merupakan kumpulan catatan Nieuhoff saat menjadi staf perwakilan VOC untuk Dinasti Qing pada 1654-1657. Melalui buku tersebut, pengetahuan orang Eropa mengenai Cina menjadi lebih luas dan karena catatan tersebut sangat penting saat itu, Van Meurs harus berebut dengan beberapa penerbit lainnya untuk mendapatkan hak ekslusif penerbitan.

Setelah kembali ke Batavia pada 1658, Nieuhof mengunjungi berbagai tempat di kepulauan Nusantara. Catatan Nieuhof itu yang kemudian menjadi rujukan penggambaran masyarakat dan pelabuhan-pelabuhan di Nusantara abad Ke_17. Pada 1663, Nieuhof ditugaskan di Malabar, India Selatan, tetapi ia dipecat oleh VOC pada 1667 karena terlibat dalam penyelundupan mutiara. Setelah dipenjara selama tujuh bulan, nampaknya Nieuhof beredar di antara Srilangka dan Batavia. Pada 1671 Nieuhof kembali ke Belanda dan kepulangannya itu disambut berbagai kalangan yang ingin mendengar cerita petualangannya terbaru. Nieuhof menjadi cukup dikenal setelah bukunya tentang Cina laris terjual bahkan diterbitkan dalam berbagai bahasa. Setahun kemudian Nieuhof meninggalkan Belanda untuk kembali melanjutkan petualangannya di Asia. Kapal yang mengangkut Nieuhof sempat mengunjungi Madagaskar untuk menambah perbekalan. Namun naas, Nieuhof dilaporkan menghilang di pedalaman pulau tersebut saat mencari air bersih. Jasadnya tidak pernah ditemukan.

Catatan-catatan Nieuhof di Asia sepanjang 1658-1571 diterbitkan pada 1682 dengan judul Gedenkwaerdige zee en lantreize door de voornaemste landschappen van West en Oostindien. Sementara itu, catatannya selama bertualang di Brazil pada 1640-1649, sebelum bergabung VOC, juga diterbitkan pada bagian pertama buku dengan sub-judul Gedenkwaardige Brasiliaense zee- en landreis. Nieuhoff ikut dalam penyerangan VOC ke Palembang dan penggambarannya yang cukup detail mengenai peristiwa tersebut menjadi sumber sejarah berharga. Ceritanya tersebut dilengkapi ilustrasi berjudul De Stadt Palembang Met Haer 3 Fortreffen. Saat Nieuhof menemukan objek yang menarik untuk dilukis, ia akan terlebih dahulu membuat sketsa kasar sebagai dokumentasi langsung saat peristiwa. Finishing dan detailing lukisan biasanya akan diselesaikan kemudian di waktu yang berbeda.

Bila dibandingkan dengan lukisan La Ville de Palimbang, lukisan De Stadt Palembang lebih dulu dibuat dan yang paling penting ialah lukisan tersebut dibuat oleh saksi langsung peristiwa. La Ville de Palimbang yang terlampir dalam buku catatan perjalanan Albert de Mandelslo harus diberi catatan lebih. Pembuatan peta, atlas, ataupun lukisan oleh orang Eropa abad ke_17 tidak selalu dilakukan oleh orang pertama namun merupakan ilustrasi yang dibuat berdasarkan cerita. Bukan hal aneh jika saat itu para pelaut yang kembali dari perjalanan jauh akan segera didekati oleh pengusaha penerbitan untuk mendapatkan cerita yang akan dirilis menjadi buku atau atlas. Terlebih Mandelslo tidak hidup saat peristiwa penyerangan VOC ke Palembang terjadi, ia terlebih dahulu mati pada 1644. 

Bahkan isi dari buku Mandelslo sendiri tidak sedikitpun bercerita tentang Palembang. Terdapat kemungkinan bahwa La Ville de Palimbang dibuat didasarkan cerita, bisa jadi terinspirasi dari ceritanya Nieuhof atau cerita para pelaut lainnya yang sempat ikut melakukan penyerangan. Dilampirkannya lukisan tersebut oleh Pierre van Der Aa hanya pemanis semata.


Penggambaran istana penguasa Palembang tergambar berbeda pada dua lukisan tersebut. Penggambaran Nieuhoff atas Istana bisa dinilai lebih akurat. Tanpa adanya salib di ujung atap dengan arsitektur yang terlihat lebih tradisional seperti bentuk ornamen badong atau wuwungan mahkota khas Jawa. Perlu diketahui bahwa sebelum penyerangan VOC, Palembang masih menjadi vasal dari penguasa Jawa.

Menariknya dalam De Stadt Palembang, Nieuhof memberikan keterangan pada legenda peta mengenai objek gambar lebih banyak daripada La Ville de Palimbang yang hanya memuat keterangan empat objek, yakni Benteng Cambare, Benteng Martapura, Benteng Bamagangian, dan Istana Raja. Dalam gambar yang Nieuhof buat terdapat keterangan pemukiman atau enclave penduduk, seperti pemukiman pedagang Arab atau India muslim (Moor), dan pemukiman pedagang Tionghoa yang berada pada lokasi yang sama dengan pedagang Portugis. Uniknya pada lukisannya itu Nieuhoff menggambar adanya Unta milik pedagang Arab. Nieuhof sepertinya sangat antusias dalam menggambarkan suatu tempat atau peristiwa lengkap dengan aktivitas sosialnya.

Kembali ke persoalan kenapa istana penguasa Palembang bisa tergambar mirip dengan gereja. Meskipun nampaknya keliru tetapi penggambaran La Ville de Palimbang juga bisa jadi bukan tanpa konteks. Dari lukisan Nieuhof sendiri bisa didapatkan keterangan bahwa telah ada pemukiman pedagang Portugis di Palembang, bahkan Barbara Andaya menulis bahwa pengawas pembangunan pertahanan di Palembang sendiri adalah seorang mestizo Portugis. Belum diketahui apakah konflik Palembang dengan VOC yang berujung penyerangan karena adanya provokasi para pedagang Portugis. Jan Van Der Laen, komandan penyerangan VOC ke Palembang, sepanjang penugasannya di Asia memiliki reputasi berhadapan dengan Portugis berulangkali dan bahkan pernah hampir terbunuh saat berperang di Srilangka. Kericuhan antara Palembang dan perwakilan VOC pada 1657 yang menyebabkan terbunuhnya puluhan pelaut VOC, mendorong komandan VOC di Batavia tidak memiliki pilihan selain menugaskan seorang battle-hardened field commander seperti Van Der Laen untuk memimpin penyerangan pada 1659. Setahun setelah menghancurkan Palembang, Van Der Laen hampir saja menaklukan benteng utama Portugis di Makau, bila saja saat itu tidak terjadi perbedaan pendapat dengan Frederick Coyett, gubernur VOC di Formosa, barangkali Makau dapat dikuasai VOC.

Dalam tulisan ini saya tidak akan bercerita tentang detail penyerangan tersebut karena runtutan kejadian bisa pembaca dapatkan dari beragam literatur. Catatan primer lainnya mengenai ekspedisi VOC di Palembang bisa juga dibaca pada Dagh-Register van’t Casteel Batavia, kumpulan jurnal laporan dari markas VOC di Batavia. Beberapa karya dari Djohan Hanafiah cukup hidup dalam menggambarkan detail peristiwa, sementara untuk konteks yang lebih luas seperti bagaimana luluh lantaknya Palembang justru disambut perayaan oleh rival sekaligus kerabatnya di Kesultanan Jambi dapat dibaca pada karya Barbara Andaya berjudul To Life as Brothers yang telah dijemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Ombak.

---

ps : beberapa tautan ke dokumen asli saya tempelkan ke tulisan di atas. dikarenakan saya malas mengubah setingan warna untuk kata yang ada tautannya, jadi kursor harus diarahkan ke kata tersebut. kata atau kalimat yang ada tautannya akan nampak kelap-kelip atau meredup dan kursor akan berubah bentuk seperti ini👆