May 21, 2025

Tidak Ada Ngopi-Ngopi Fancy di Priangan Abad XIV

 

Awalnya saya hendak meresensi buku mengenai etnis Sunda, namun dalam proses pembacaannya saya merasa seperti ada yang tidak terjelaskan mengenai penduduk di Priangan. Kemudian saya mulai membaca kembali tulisan-tulisan mengenai Priangan di abad 19, dan salah satunya ialah buku yang ditulis Jan Breman yang berjudul Mobilizing Labour for the Global Coffee Market : Profits From an Unfree Work Regime in Colonial Java, yang terbit pada 2015. Setahun sebelumnya buku ini juga diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Yayasan Obor Indonesia (YOI) dengan judul Keuntungan Kolonial Dari Kerja Paksa :  Sistem Priangan Dari Tanam Paksa Kopi di Jawa, 1720-1870. Buku ini diterbitkan pertama pada 2010 dalam bahasa Belanda.

Buku ini tidak berisi gambaran keindahan alam Priangan yang seringkali diromantisir oleh para pelancong berkulit putih atau penulis Indonesia yang terkagum-kagum dengan keteraturan Kota Bandung era kolonial sebagai ibukota Priangan. Buku ini berkisah mengenai kegetiran, penderitaan, dan peluh keringat penduduk Priangan yang dipaksa menanam kopi agar bisa membawa keuntungan bagi para saudagar kaya di Amsterdam. Buku ini berisi sejarah kelam di balik pekatnya minuman kopi.

 ---

Breman memulai pembahasan dengan cerita bagaimana kopi mulai ditanam di Pulau Jawa. Perjanjian Jepara pada 1677 dengan Kesultanan Mataram menjadi awal perluasan kekuasaan VOC di pedalaman Pulau Jawa sebelah barat. VOC membawa bibit kopi ke Pulau Jawa dan mengawali penanaman di area dataran rendah sekitar Batavia dan Cirebon. Penanaman ujicoba dilanjutkan ke wilayah perbukitan Bogor dan Cianjur yang ternyata hasilnya lebih menguntungkan. Berangkat dari keberhasilan tersebut VOC mulai memperluas area penanamannya ke dataran tinggi di pedalaman, suatu wilayah yang dikenal dengan sebutan Priangan. Awalnya VOC meminta para kepala pribumi untuk menanam kopi yang hasilnya harus dijual ke VOC dengan harga pasar yang berlaku. Lama-kelamaan keuntungan kopi yang menggiurkan lalu mendorong VOC untuk menerapkan kebijakan yang semakin ekploitatif pada 1720. Kebijakan pemaksaan penanaman kopi di Priangan kemudian lebih dikenal sebagai Preangerstelsel, meskipun saat penerapannya VOC tidak menyebutnya sebagai suatu sistem dengan sebutan spesifik.

VOC memaksa agar semua kepala penduduk pribumi mengerahkan warganya menyetor kopi dengan kuantitas yang semakin tinggi namun dengan harga yang jauh diturunkan. Para kepala penduduk pribumi yang kemudian banyak diangkat sebagai bangsawan Priangan tersebut bertindak sebagai pengawas penanaman dan pemungut setoran kopi. Saat tanam paksa kopi para bupati mendapatkan keuntungan dari pemberlakukan sistem ini. Mereka memiliki penghasilan dari penggunaan kekuasaan tradisional yang masih melekat dan keuntungan dari rantai penyetoran kopi. Sebagai penguasa feodal, para Bupati mendapatkan setoran sepersepuluh dari hasil bumi, upeti-upeti, dan kerja pengabdian dari warga bawahannya. Selain itu, VOC membiarkan pemotongan uang pembelian kopi untuk petani oleh para elit pribumi. Bagi VOC menjaga kuantitas kopi yang disetor oleh para bupati lebih penting daripada mengutak-atik kekuasaan para bupati atas masyarakat pribumi.

Diakusisinya aset VOC oleh Pemerintah Kerajaan Belanda pada 1800 tidak membuat perlakuan terhadap kaum pribumi membaik. Dalam buku ini Breman menjelaskan bahwa banyak dari para pegawai Belanda yang ketika berada di lingkungan Eropa nampak membawa semangat liberal dan humanis, namun dapat berubah menjadi rakus ketika tiba di Jawa. Perbedaan mendasar pengelolaan wilayah antara VOC dengan apa yang dilakukan ketika Pemerintah Belanda menguasai daerah jajahan ialah dibangunnya pondasi birokrasi, kebijakan kependudukan, dan perubahan agraris secara fundamental. Pada dasarnya penerapan kebijakan-kebijakan tersebut atas tujuan utama, yakni keuntungan bagi negara induk.

Salah satu masalah utama di Priangan sampai di abad 19 yakni kurangnya penduduk untuk tenaga kerja. Priangan di awal abad 19 dapat dikatakan sebagai terra incognita, wilayah tidak dikenal. Penduduk yang sangat sedikit dan tersebar di kaki-kaki bukit dan pegunungan, serta hutan rimba lebat dengan hewan-hewan buas berkeliaran. Sebagian besar para penghuni wilayah Priangan adalah penduduk nomaden. Hal tersebut berakar pada pola pertanian ladang berpindah yang memudahkan mereka untuk bisa bertahan tanpa harus menetap di satu tempat. Ketika menetap pun, penduduk Priangan lebih tersebar ke pemukiman-pemukiman kecil yang biasanya hanya dihuni oleh kurang dari enam rumah tangga. Tidak berarti bahwa petani sedentaris pun akan permanen menetap, tekanan ekonomi dan politik dapat mendorong mereka untuk berpindah. Sebagaimana diceritakan Breman, bahwa penduduk Priangan dapat kembali menjadi nomaden atau kabur ke wilayah lain untuk menghindari tekanan yang terlalu berat. Memilih untuk mengasingkan diri ke lebatnya hutan pegunungan dan terancam hewan buas dibanding mengurus tanaman kopi, menyetorkan hasil kopi, membayar pajak beras, dan kerja pengabdian untuk kepentingan para priyayi. Kabur sebagai bentuk resistensi yang paling memungkinkan bagi para petani miskin Priangan saat itu. Penduduk yang telah lama mengadopsi pola hidup menetap menyebut orang-orang nomaden ini sebagai jalma burung (manusia burung), sementara kolonial menyebutnya sebagai primitif dan tidak beradab. Bagi Pemerintah Belanda memaksa penduduk Priangan untuk menetap dan mengadopsi pola hidup sedentarian adalah syarat kemajuan.

Bukan berarti bahwa dengan menjadi sentral penanaman kopi maka penduduk Priangan akan ikut merasakan kenikmatan meminum kopi. Buku ini menjelaskan bahwa dengan alasan untuk menghindari adanya penyelundupan, maka para petani kopi tidak diperbolehkan menyimpan hasil kopinya di rumah dan hanya diperbolehkan meminum kopi di tempat yang terdapat pengawas perkebunan. Petani kopi hanya dapat meminum rebusan daun kopi, tapi tidak dengan biji kopi yang harus segera disetorkan setelah dipetik. Para petugas kolonial dapat melakukan penggeledahan ke gubuk-gubuk petani untuk menemukan simpanan kopi yang dicurigai sebagai biang penyelundupan. Memang tidak dijelaskan hubungan antara tanam paksa kopi dengan tidak adanya budaya minum kopi di Priangan, tapi diterangkan bahwa penderitaan akibat tanam paksa kopi ini membuat penduduk Priangan mengalami trauma dengan tanaman kopi. Sampai sekarang di masyarakat Sunda masih ada istilah ngopi, kebiasaan ini bukan secara spesifik merujuk pada budaya minum kopi namun lebih ke menyemil makanan ringan. Konon istilah ngopi ini berasal dari kebiasaan petani yang kerap menyemil biji kopi kering untuk menahan lapar di sela-sela pekerjaan.

Masalah kependudukan di Priangan pada abad 19 berusaha diatasi melalui beberapa kebijakan, yakni mengonsentrasikan penduduk dalam pemukiman yang lebih padat, melarang perpindahan penduduk tanpa izin, dan mendatangkan penduduk dari wilayah yang lebih padat di pesisir utara ke Priangan. Sampai Politik Etis diterapkan pada akhir abad 19, Pemerintah Kolonial Belanda tidak pernah mengakui bahwa rendahnya jumlah penduduk dan fertilitas yang rendah di Priangan saat Preangerstelsel diberlakukan salah satunya disebabkan oleh kebijakan yang terlalu eksploitatif dari pemerintah itu sendiri.

Bersamaan dengan paksaan sedentarisasi, kolonial Belanda mulai mengorganisir birokrasi pribumi. Pengaturan hirarki kekuasaan diperlukan untuk keperluan pengerahan tenaga kerja, rantai komando, dan pengelolaan penyetoran kopi. Mulanya Belanda dibingungkan dengan tidak adanya kejelasan standar kekuasaan dan kewenangan para kepala pribumi, selain juga istilah kepala pribumi yang beragam di wilayah Priangan. Sebagai contoh, seseorang di satu wilayah yang mengepalai 50 rumah tangga dianggap sama dengan orang lain di wilayah lain yang mengepalai hanya 10 rumah tangga. Pengaturan itu dimulai saat Daendles menerapkan tinggi rendahnya kepala pribumi didasarkan jumlah kepala rumah tangga yang dikepalainya, dengan standarisasi gelar jabatan serta batasan wilayah kewenangannya. Pengaturan wilayah diperlukan karena saat itu pengabdian dari penduduk tidak didasarkan atas wilayah namun pada ketokohan kepalanya. Saat itu lumrah terjadi seseorang yang setia kepada bupati A tinggal bersebelahan dengan seorang abdi dari bupati B yang merupakan rival dari bupati A.

Pengaturan demografi oleh Pemerintah Kolonial tidak juga memberikan gambaran adanya ketercukupan tenaga kerja. Permasalahan ini baru mulai terpecahkan ketika semakin dalamnya keterlibatan Pemerintah Kolonial di tengah masyarakat pribumi yang memungkinkan adanya observasi langsung. Sebelumnya setoran wajib kopi dibebankan kepada para kepala pribumi sehingga Pemerintah Kolonial tidak dapat memastikan seberapa banyak jumlah penduduk dan tenaga kerja yang dapat dikenakan kewajiban kerja. Hal tersebut didasarkan adanya pola keluarga majemuk (cacah) yang berlaku di masyarakat pribumi yang telah mengalami sedentarisasi.

Keluarga majemuk muncul dari hubungan feodal gusti-kawula di mana beberapa keluarga mengabdi kepada satu keluarga. Keluarga-keluarga yang menjadi kawula tersebut menukarkan tenaga dan pengabdian mereka dengan perlindungan, pembagian hasil garapan, dan lahan tempat tinggal yang didapatkan dari keluarga majikan sang pemilik lahan. Keluarga kawula dapat lepas dari keluarga majikan saat mereka tidak lagi berketergantungan dengan keluarga majikan dan dapat membuka lahannya sendiri. Keluarga kawula yang telah mandiri dapat menjadi keluarga majikan ketika ada keluarga atau orang lain yang datang ikut numpang di lahan miliknya. Setelah memahami pola ikatan tersebut, Pemerintah Kolonial kemudian membebankan kerja wajib pada setiap keluarga inti sehingga anak-anak, perempuan, dan warga berusia lanjut harus dilibatkan. Suatu hasil pengamatan yang berujung pada kondisi yang lebih buruk.

Dinamika yang terjadi di Priangan abad 19 memunculkan kelompok petani yang tidak memilik lahan yang menjadi sumber tenaga kerja untuk pertanian. Menyempitnya lahan garapan didorong oleh beberapa faktor, yakni; Pertama, para kepala penduduk, yang menjadi kelas priyayi semakin intensif menggunakan kewenangannya untuk memperluas lahan mereka sendiri. Praktik seperti ini terjadi dari priyayi tingkat rendah sampai ke paling tinggi seperti bupati. Semakin tinggi kepriyayian mereka maka semakin luas lahan yang dapat diambilalih. Breman menjelaskan bahwa para bupati di Priangan menggunakan kekuasaan tradisionalnya untuk mengklaim luasan tanah dengan alasan sebagai tanah leluhur atau sebagai wilayah perburuan. Demi menjaga wilayah tersebut tetap steril maka orang luar tidak boleh masuk. Di tingkatan yang lebih rendah, seorang kepala pribumi dapat mengklaim tanah cadangan desa sebagai tanah lungguh (bengkok) sebagai kompensasi kerja mereka sebagai seorang pemimpin. Dalam praktiknya para priyayi tersebut dapat memerintahkan para petani bawahannya untuk menggarap lahan tersebut sebagai perkebunan atau sawah untuk keuntungan pribadinya sendiri. Meskipun lahan garapan semakin sempit tetapi tidak menyurutkan tekanan bagi rakyat biasa untuk terus menghasilkan kopi.

Kedua, semakin luasnya tanah yang disewakan oleh Pemerintah Kolonial kepada swasta. Perkebunan partikelir ini pada awalnya diperuntukan untuk mengolah area-area yang belum tergarap. Selain lahan yang luas, perkebunan partikelir ini juga berhasil menyerap tenaga kerja. Para petani ladang berpindah yang tidak dapat lagi membuka lahan menjadi sasaran penyerapan tenaga kerja. Meskipun tidak lagi terikat dengan tanam paksa kopi dan kewajiban lainnya, konsekuensi utamanya adalah menjadi buruh yang terikat dengan gaji rendah dan aturan ketat perusahaan perkebunan.

Ketiga, adanya penurunan pajak beras. Hal ini mendorong pemilik lahan untuk kembali mengolah lahan lebih intensif menjadi sawah. Akan tetapi hal ini juga mendorong konsekuensi lain yakni meluasnya praktik pembukaan lahan, jual-beli lahan, dan pasar hasil pangan. Para kepala penduduk yang memiliki keuntungan ekonomi dan politik berhasil memanfaatkan kondisi ini. Dengan harapan lahan persawahan dapat menghasilkan keuntungan, para petani pemilik lahan seringkali meminjam uang dari para kepala penduduk. Kegagalan pertanian menyebabkan macetnya pembayaran pinjaman (termasuk bunga pinjamannya) sehingga dapat dimanfaatkan para kepala penduduk untuk membeli atau bahkan merebut tanah sebagai bentuk pembayaran hutang. Mantan pemilik lahan berubah menjadi petani penggarap di lahan bekas miliknya atau menjadi buruh untuk menghidupi hidupnya.

Tesis penting yang ditawarkan buku ini ialah penjelasan adanya dialektika internal negara jajahan sebagai pendorong dihentikannya Preangerstelsel dan Cultuurstelsel atau sistem tanam paksa pada 1870. Breman menjelaskan bahwa terjadinya perubahan agraria dan kemunculan tenaga kerja cadangan berakibat pada terabaikannya perkebunan kopi sehingga hasil kopi Priangan semakin merosot dan wilayah tersebut tidak lagi pantas untuk dituntut meningkatkan hasil kopi. Faktor pendorong lainnya ialah dimungkinkannya keuntungan yang didapatkan dari penanaman investasi oleh pihak swasta.

Proses akumulasi primitif dan terbentuknya dasar kapitalisme di Priangan ini yang seringkali terkaburkan oleh narasi-narasi sejarah yang menilai kuatnya dorongan kelompok liberal di Parlemen Belanda sebagai faktor utama dihentikannya tanam paksa. Pandangan liberalisasi ini telah teramplifikasi sampai sekarang melalui buku-buku sejarah dan buku tentang hukum agraria sekali pun, dengan menempatkan para kolonialis liberal kulit putih di Parlemen Belanda seakan mendadak iba dengan penderitaan kaum pribumi. Buku ini seakan ingin mengatakan bahwa tidak mungkin pemerintah jajahan menghentikan suatu sumber panghasilan tanpa memikirkan cara lainnya yang lebih menguntungkan.

Di tahun yang sama dengan penghentian Preangerstelsel, muncul regulasi pertanahan baru yang dikenal sebagai Agrarische Wet 1870 atau Undang-undang Agraria 1870. Didasarkan pada penjelasan Breman di buku ini dapat disimpulkan bahwa regulasi baru tersebut bukan titik tolak perubahan agraria tetapi sebagai penguatan pondasi-pondasi perubahan agraria yang sebelumnya telah terintis dan terbukti tetap dapat memberikan keuntungan. Sebelum Agrarische Wet diberlakukan, perkebunan swasta telah lama dikenal namun dengan luasan lahan yang terbatas. Di antara perintis awal perkebunan swasta di Priangan adalah Andries De Wilde, seorang mantan pegawai kolonial di masa Daendles yang menjadi tuan tanah di Cianjur dan Bandung. Sayangnya rintisan perkebunan swasta Andries de Wilde harus terhenti karena faktor politik. Beberapa tahun setelahnya, Priangan dapat menyaksikan kemunculan Keluarga Van Der Hucht yang menjadi cikal bakal terbentuknya kartel pengusaha perkebunan yang lebih dikenal sebagai Preanger Planters, seperti keluarga Holle, Kerkhoven, dan Bosscha.

Meningkatnya jumlah penduduk Priangan menyebabkan lahan bebas tidak lagi mudah didapatkan. Peningkatan tersebut didorong dengan ketersediaan pangan sebagai hasil dari diperkenalkannya budidaya tanaman pangan yang lebih modern. Kemajuan tersebut salah satunya layak dialamatkan pada kontribusi seorang Karel Frederik Holle. Dalam banyak tulisan K.F. Holle sering disebut sebagai orang kulit putih yang paling berjasa bagi masyarakat Sunda. Atas jasa Holle dan kawan karibnya, Muhammad Musa, seorang penghulu Limbangan, merumuskan standarisasi bahasa Sunda yang lebih baku sehingga memperkuat identitas kesundaan yang terpisah dari Jawa. Dalam buku ini Breman lebih menampilkan kontribusi Holle di bidang pertanian yang berdampak luas. Breman menulis ”…played an important role in helping to bring about radical social changes from the hill estate he ran near Garut.”

Dalam penilaian Breman, Holle sama seperti kolonialis lainnya di Priangan yang mendasarkan perlakuannya terhadap pribumi tetap didasarkan atas kepentingan kolonial. Holle menilai bahwa pola pertanian ladang berpindah adalah faktor terbesar dari perusakan lingkungan di wilayah lereng dan pegunungan di Priangan. Holle menyebut gubuk-gubuk para petani ladang berpindah layaknya kandang anjing. Namun Holle tidak menyebutkan bahwa salah satu faktor pendorong meluasnya area ladang berpindah yang dilakukan oleh penduduk pribumi akibat dari menyempitnya lahan subur yang dijadikan perkebunan kopi dan teh. Usaha Holle untuk menjamin tetap terikatnya tenaga kerja di perkebunan teh miliknya ialah dengan membangun pemukiman pekerja di sekitar perkebunan teh, membagikan beras sehingga para pekerja tersebut tidak perlu lagi mengusahakan pangannya sendiri, dan cara-cara budaya seperti rutin menggelar kesenian ronggeng/tayub di perkebunannya. Efisiensi penanaman padi awalnya ditujukan untuk meningkatkan produk pangan untuk para pekerjanya di perkebunan. Holle memberlakukan sistem pengupahan sesuai dengan pekerjaan setiap bulannya dengan hanya memberikan libur selama 4 hari dalam setahun.

Holle mempelajari perilaku, budaya, serta bahasa pribumi dan mencoba mengajari pola pertanian yang lebih efektif. Jika sebelumnya pertanian padi dilakukan di lahan kering, Holle menyuruh pekerja dan penduduk sekitar perkebunan untuk menanam padi di lahan basah (sawah) dengan sistem penempatan bibit yang lebih teratur. Selain itu, pembangunan irigasi diperluas untuk mendukung persawahan. Efisiensi penanaman padi yang diajarkan oleh Holle ini memperoleh hasil yang lebih signifikan. Pola bersawah baru ini meluas ke wilayah Priangan lainnya yang kemudian lazim dikenal sebagai tandur (tanam mundur). Didasarkan pada pengalamannya mengelola perkebunan, Holle menyadari diperlukannya standarisasi bahasa dan aksara yang dipergunakan di antara para pekerja dan administrator pribumi. Saat itu para administrator perkebunan berkulit putih kesulitan memahami bahasa Sunda yang beragam dan berbeda satu sama lain. Di sinilah kemudian rumusan bahasa Sunda baru diproduksi oleh Holle dan Muhammad Musa. Buku-buku berbahasa Sunda awal yang diterbitkan Holle dan Musa adalah buku budidaya padi untuk dibaca oleh para penduduk di sekitar perkebunan.

Atas pengetahuannya yang besar mengenai penduduk Priangan dan jasanya di bidang pertanian, Holle sempat ditawari menjadi residen Priangan pada 1871 (residen pertama setelah diberlakukannya Agrarische Wet), namun hal itu ditolaknya. Ia lebih menerima kontribusinya di Pemerintahan Kolonial sebagai penasihat kehormatan. Bukan penilaian yang berlebihan jika penawaran posisi residen tersebut sebagai diakomodirnya representasi kepentingan pihak pengusaha yang sebelumnya telah berhasil menunjukan potensi keuntungan untuk negara kolonial. Saran Holle yang paling politis terhadap pemerintah kolonial ialah untuk terus mengawasi para pemuka agama yang pengaruhnya semakin kuat di Priangan. Holle beranggapan bahwa pengaruh ulama dan haji di tengah masyarakat dapat dimanfaatkan untuk melawan pemerintah kolonial, apalagi saat itu tengah terjadi Perang Aceh.

Menguatnya pengaruh ulama di tengah penduduk pada dasarnya adalah konsekuensi dari kebijakan kolonial berkaitan dengan tanam paksa kopi sebelumnya. Saat Daendels melakukan pengaturan penyetoran kopi, pemuka agama adalah salah satu kelompok yang diperintahkan oleh Daendels untuk mengorganisir penanaman kopi. Sebagai imbalannya para pemuka agama ini mendapatkan persentase penyetoran. Alasannya saat itu karena kemampuan baca tulis yang pada umumnya dimiliki para pemuka agama. Para pemuka agama secara bertahap mulai memiliki kedudukan istimewa di tengah masyarakat, baik secara ekonomi maupun sosial. Bahkan Breman menuliskan bahwa selain para priyayi, pemuka agama memanfaatkan keuntungan ekonominya dengan memberikan pinjaman berbunga kepada para petani dan mengakumulasi kekayaan dalam bentuk lahan. Kedudukan istimewa pemuka agama menjadi daya tarik tersendiri bagi penduduk Priangan untuk menaikan kredibilitas sosial dan akses ekonomi. Hal tersebut ditandai dengan meroketnya jumlah penduduk Priangan yang naik haji saat kebijakan permohonan naik haji dilonggarkan Pemerintah Kolonial.

(bersambung)

No comments:

Post a Comment