August 29, 2014

No Compromise #5

Sekitar tahun 2002-2004, di saat zine-zine lokal masih begitu politis dan tema-tema anarkis mendominasi di jejeran terbitan zine/newsletter, lalu ada satu terbitan zine yang mempunyai perspektif berbeda dibanding zine lainnya yang terbit saat itu. No Compromise (selanjutnya akan disingkat NC) hadir jauh sebelum scene underground diramaikan dengan istilah metal satu jari atau gerakan anak punk yang tobat namun tetap ingin diakui eksistensi ke’punk’annya. Ketika Jaringan Islam Liberal ataupun gerakan penolakannya ITJ masih sesuatu yang asing di telinga anak muda, dan saat pertobatan-pertobatan ala rockstar belum ramai, zine ini sudah lebih dulu menolak liberalisme dalam arti yang lebih luas, bukan sekadar arti sempit liberal atau pluralisme yang sekarang begitu ramai dibincangkan santri dadakan.

NC menyajikan kritik-kritik politisnya berangkat dari perspektif keIslaman.  NC menyadarkan bahwa dinamika ajaran Islam sebenarnya menyediakan landasan pemikiran untuk menganalisa kondisi sosial-ekonomi-politik yang aktual. Karena itu isinya tampil begitu variatif, tidak melulu menghadirkan kisah ketidakadilan yang dialami oleh umat Muslim di berbagai belahan dunia, tetapi juga mengajukan ijtihad melalui analisanya. NC berbicara tentang propaganda AS, kapitalisme, filsafat barat, Ali Syariati, hak paten, bahkan wawancara dengan grup rap muslim Soldier of Allah, dan lain sebagainya.

Karena itu setelah 10 tahun zine ini mati, lalu ada yang melanjutkannya di edisi kelima maka muncul ekspektasi kalau terbitan yang paling baru ini akan sekeren yang dulu. Ternyata ekspektasi saya salah.

NC#5 menyibukan diri untuk mengkritik anarkis sekaligus berceramah kepada anak muda yang masih tertarik dengan imaji pemberontakan di luar radikalisme Islam versi editornya NC. “ceramah” di edisi teranyar ini terasa basi karena, pertama, kritik terhadap gerakan anarkis adalah hal lama yang pada edisi #3 dan #4 telah banyak disentuh tanpa harus seakan-akan bilang, “ah ngapain sih anarkis-anarkisan, lagian kami lebih radikal daripada kalian wahai kaum anarkis!”. Kedua, apa yang komunitas anarkis ataupun hc/punk lakukan yang dikritik pada NC #5 adalah hal yang ramai beberapa tahun lalu, tetapi sudah berbeda sekarang ini, apalagi sejak banyak anak punk kemudian lebih memilih memuja berhala baru bernama JKT48. Subcommandante Marcos, Food Not Bomb, vandalisme, atau semacam Shop Lifting sampai sekarang memang masih seru tetapi dinamika dan wacana yang hadir sudah jauh berkembang dan bervariasi dibanding apa yang disebutkan di NC#5, dan sialnya editor NC #5 masih juga menggunjingkan hal-hal tersebut seakan tahun ini masih di tahun SBY terpilih sebagai presiden untuk pertama kalinya.

Kesalahkaprahan Food Not Bomb (FNB) dinilai sebagai bentuk kedermawanan adalah satu hal yang paling umum terjadi seputar FNB. Editor NC#5 mengkritik yang salah kaprah itu, dan menjadi semakin salah. Kekeliruan itu  memang tidak hanya dialami oleh editor NC#5 saja, tidak jarang orang-orang yang tertarik berkegiatan FNB pun masih ada juga menganggap FNB sejenis perbuatan “baik hati”. Dalam FNB tindakan mendistribusikan makanan surplus hanyalah salah satu bagian dari kampanye mengenai pangan. Tanpa aksi lainnya, dan hanya membagikan makanan, FNB memang acapkali dilihat hanya sebagai kedermawanan. FNB tidak hanya dapat diaplikasikan dalam kampanye pangan, juga dalam menolak militerisme. Hanya saja sayangnya, wacana “bomb” pada Food Not Bomb di Indonesia sampai saat ini lebih pada membebek pada FNB luar, karena analisa seputar alutsista yang banyak dibahas di FNB AS ataupun negara barat lainnya berbeda jauh dengan konteks dan kondisi militer di Indonesia.

Mengkomparasikan FNB dengan zakat sebagai perilaku filantropis adalah sesuatu yang aneh. Zakat mempunyai fiqihnya tersendiri yang mengatur tentang pendistribusian harta kekayaan seorang muslim, tidak sebagai kegiatan sedekah semata. Bahkan untuk seorang muslim yang telah mencapai kondisi tertentu, pada segala profesi, zakat menjadi wajib. Di saat badan terpercaya penyalur zakat seperti Rumah Zakat belum hadir dan modernitas belum menyita waktu umat muslim untuk bekerja, pendistribusian zakat utamanya dilakukan sendiri oleh orang yang ingin berzakat. Tujuannya bukan sekadar urusan ibadah, tapi ada dampak sosial positif yang hadir tatkala seorang muslim berbagi dengan dan bersilaturahmi dengan seorang muslim lainnya. Itu dampak zakat di ruang sosial, belum lagi dampak zakat pada perputaran ekonomi, sehingga zakat tidak begitu saja hanya disebut sebagai tindakan filantropis.

Pengadvokasian Jihad pada NC#5 juga bisa dilihat dengan ditampilkannya beberapa profil “komandan” yang muncul dari konflik-konflik yang pernah meledak. Ditambah pada glosarium yang menjelaskan beberapa istilah dalam Jihad, yang seolah-olah perjuangan umat Islam yang pernah ada hanyalah melalui peperangan. Itu pun penjelasan yang dihadirkan hanya bagian radikalnya saja, sehingga konteks bagaimana munculnya “regulasi” Jihad dan peperangan dalam Islam menjadi tercerabut. Sampai di sini saya berasa sedang membaca situs Arrahmah, PKS Pyongyang, ataupun VOA-Islam yang gencar mempropagandakan Islam “hardcore”.

NC yang dulu begitu keren karena NC yang dulu tidak sekonyong-konyong bermain-main dengan istilah “kafir” dan “jihad” secara vulgar. Apa yang saya baca dulu adalah NC yang mengajak pembacanya untuk berpikir, sedangkan yang sekarang adalah NC yang mengajak berperang tanpa banyak berpikir. Sehingga saya sedikit ragu apakah yang menerbitkan NC #5 adalah kolektif Liberation Youth yang sama yang menerbitkan empat terbitan NC terdahulu atau hanya orang lain yang meminjam nama NC. Jika membandingkannya dengan terbitannya yang lama, dilihat dari kualitas tulisan dan isi, saya bisa bilang jika terbitan terbaru ini begitu menyedihkan.
---------------------------------------
No Compromise #5 untuk versi PDFnya bisa diunduh di sini

2 comments:

  1. resensinya bagus. jujur dan obyektif. meski beberapa hal saya kurang sependapat, tapi saya respek.

    ReplyDelete