July 7, 2023

Dendang Lalai : Semakbelukar dan Diskursus Kemelayuan


 


Pada Desember 2013, Semakbelukar resmi membubarkan diri saat penampilan terakhir mereka di Kineruku, Bandung. Acara itu sedianya menjadi release party dari beberapa album Semakbelukar yang sebelumnya dirilis oleh Elevation Records. Namun apa dinyana, acara tersebut menjadi penampilan terakhir Semakbelukar. Pihak penyelenggara, Elevation Records, baru mengetahui Semakbelukar telah sepakat membubarkan diri saat Semakbelukar tiba di Jakarta sebelum melanjutkan perjalanan untuk manggung di Jatiluhur dan Bandung. Apa yang tersaji dalam rilisan cakram padat bertajuk Dendang Lalai ini adalah hasil rekaman langsung saat Semakbelukar manggung untuk terakhir kalinya di Bandung. Berisi 14 tracks yang terdiri dari 13 lagu Semakbelukar dari album-album sebelumnya dan 1 lagu cover Kocani Orkestar berjudul Shiki-Sihiki Baba.

Jika pada rilisan lain yang direkam secara live kita akan disuguhi lagu-lagu yang dibawakan secara langsung. Riuh dan gemuruh suara penonton sengaja terekam untuk menambah atmosfer panggung ke dalam rekaman. Format live biasanya sedikit berbeda dengan format rekaman, begitu pun dengan hasil akhirnya. Bisa terdengar lebih enak atau lebih buruk. Tetapi jujur saja, saya tidak memiliki kemampuan menilai ketat lagu-lagu versi live dari Semakbelukar ini karena toh inti musik melayu bukan hanya pada nada yang dimainkan tetapi pada pesan yang ingin disampaikan. Semakbelukar mewarisi kekuatan tradisi lisan melayu pada liriknya. Hanya sayang dalam rilisan Dendang Lalai ini tidak mencantumkan liriknya. Beberapa lagu memang terdengar berbeda namun ada hal lain yang bagi saya pribadi lebih menarik.

Poin penting dari rilisan ini adalah terekamnya statemen-statemen dari para personel Semakbelukar pada jeda antar lagu sepanjang acara. Komentar mereka atas penilaian khalayak yang melihat mereka sebagai messiah bagi kesenian melayu, sampai penjelasan versi personel Semakbelukar tentang asal muasal musik melayu. Terutama komentar mereka tentang musik melayu, penjelasan tersebut tidak singkat jika menilik antara durasi mereka berbicara dengan lama lagu yang dibawakan. Mendengarkan Dendang Lalai secara keseluruhan sedikit berasa sedang mendengarkan rekaman podcast yang ditambahi musik. Bagi seseorang yang bukan asli Sumatera Selatan seperti saya, mendengar karya Semakbelukar berasa sama eksotisnya dengan pengalaman setiap kali menjelajahi area rawa gambut di pedalaman Sumatera yang belum terkonversi menjadi kebun sawit.

Di antara komentar personel Semakbelukar yang terekam dari acara tersebut salah satunya yang dapat memantik diskursus lanjutan ialah mengenai pencampuran unsur berbagai budaya yang membentuk musik melayu sekarang ini. Dengan kata lain, musik melayu adalah hasil hibridasi beragam kebudayaan yang pernah saling berinteraksi di area melayu. Komentar itu mengingatkan saya pada beberapa tulisan dari etnomusikolog seperti Andrew Weintraub dan Elizabeth Kartomi yang menelusuri adanya pencampuran beragam kebudayaan pada budaya melayu. Keunikannya terletak pada internalisasi beragam budaya tersebut pada masing-masing komunitas di area Melayu sehingga dapat terdengar langgam perbedaan musik melayu dari beragam daerah. Hibridasi kebudayaan yang membentuk musik melayu tidak lepas dari sejarah panjang perdagangan global di area Selat Malaka sejak berabad-abad lampau.

Pengakuan atas hibridasi dalam kebudayaan melayu adalah hal yang cukup jarang terdengar di ranah lain yang mengangkat budaya melayu. Setidaknya jika berkaca dari apa yang terjadi di Palembang sekarang. Alih-alih mengakui keragaman, apa yang muncul adalah pendefinisian ketat atas kebudayaan melayu yang berujung klaim siapa yang paling melayu. Baik dari sebagian para budayawan maupun akademisi lokal. Oleh karena itu, apa yang terekam dalam Dendang Lalai dapat ditempatkan juga sebagai dokumentasi dari pelaku kesenian melayu dengan perspektif yang berbeda.

Semakbelukar di saat membubarkan diri merasa tidak harus peduli lagi pada kesenian melayu, namun dari karya-karyanya sedikitnya mempengaruhi pihak lain untuk memikirkan kembali bagaimana kesenian melayu harus dikemas. Sebut saja seperti band folk melayu Sumatera Selatan dari generasi yang lebih muda seperti Diroad dan Candei meski dengan konsep musik yang berbeda. Musik melayu Semakbelukar di telinga saya terdengar begitu “Deli” dibanding generasi folk melayu berikutnya dari Sumatera Selatan.

Akhir kata, Dendang Lalai memercik sedikit penyesalan kenapa tidak bisa hadir pada acara di Kineruku tersebut. Hanya bisa menyaksikan beberapa hasil jepretan foto dari beberapa kawan di laman Facebook, termasuk foto-foto saat para personil Semakbelukar melakukan aksi destruktif selepas manggung. Peralatan musik dihancurkan sebagai aksi simbolik bahwa Semakbelukar telah usai. Saat Semakbelukar manggung di Bandung, saya justru tengah berada di Palembang. Sebagai pengantin baru yang sedang banyak berdiskusi apakah suami ikut istri tinggal di Bandung atau suami yang ikut istri tinggal di Palembang. Pada akhirnya saya yang harus berganti KTP.

---

 artikel ini pernah dipublish sebelumnya di Jurnal Spektakel, September 2021.

No comments:

Post a Comment