August 25, 2019

Perang Yang Tidak Akan Kita Menangkan


Perang Yang Tidak Akan Kita Menangkan : Anarkisme & Sindikalisme Dalam Pergerakan Kolonial Hingga Revolusi Indonesia (1908-1948)

Penulis : Bima Satria Putra
Penerbit : Pustaka Catut
Tempat Terbit : Yogyakarta
Tahun Terbit : 2018
Tebal Halaman : 255 + xxiii

Beberapa tahun lalu saya pernah mengkritik jurnal Amorfati tentang kesulitan pembaca awam untuk melihat keterhubungan dan benang merah antara insureksi dan pembangkangan sosial di luar negeri dengan apa yang terjadi di Indonesia. Salah satu penekanannya ialah karena upaya untuk memperlihatkan keterhubungan tersebut tidak didukung oleh data yang mumpuni atas berbagai peristiwa sejarah di Indonesia. Oleh karena itu dengan keluarnya buku yang ditulis oleh Bima Satria Putra ini, potongan sejarah yang hilang tentang sejarah anarkis sindikalis di Indonesia dapat menjadi lebih terang.[1]

Dalam resensi buku ini saya tidak akan menjelaskan kembali pengertian anarkis dan sindikalis secara teoritis yang telah berulang kali diilustrasikan salah dan disematkan keliru oleh media dan politisi sebagai label-label tertentu sebagai penyederhanaan yang melenceng atas satu aliran pemikiran yang menentang terminologi negara modern sebagai sesuatu yang alamiah dan dibutuhkan manusia. Buku dari Bima Satria Putra ini tidak disusun sebagai karya teoritis tetapi dalam pemaparannya anarkisme dan sindikalisme secara bertahap dapat terdefinisikan serta memperlihatkan bagaimana keberadaan aliran pemikiran tersebut pada irisannya dengan marxisme yang lebih hegemonik. Pembuktian bahwa anarkisme dan sindikalisme hadir di Indonesia sejak lama tidak hanya dalam tataran teoritis namun pada praksis dapat saya simpulkan merupakan tujuan utama karya hasil penelitian ini disusun.

Sebelum buku ini keluar, beberapa usaha dilakukan oleh kelompok anarkis di Indonesia untuk menjelaskan bahwa tendensi anarkisme pernah aktif terutama di kalangan buruh dan kelompok kiri di luar Partai Komunis Indonesia. Kenapa usaha-usaha tersebut tidak begitu berhasil? Pertama, sebelumnya tidak pernah ada orang yang berasal dari lingkungan anarkis yang mempunyai ketertarikan serius menggali dan memiliki kemampuan menyusun puzzle-puzzle sejarah anarkis di Indonesia dengan metode sejarah yang benar. Apa yang muncul sebelumnya hanya cukilan-cukilan kisah dengan konteks revolusi Indonesia yang menggambarkan bagaimana gerakan kolektif dari kelompok sosial yang tereksploitasi untuk menumbangkan otoritas kolonial dan menolak tunduk pada otoritas baru (baca : Republik Indonesia). Kedua, masih adanya prasangka kolot yang terwariskan dari kekanak-kanakannya pertengkaran antara Bakunin dan Marx dari kelompok anarkis terhadap marxisme sehingga sedikit banyak menghindari pembacaan atas buku atau literatur yang menuliskan tentang sejarah komunis atau yang dituliskan oleh kalangan komunis bahkan nasionalis. Sikap tersebut pada akhirnya menghambat proses pencarian data yang justru pada literatur-literatur tersebut berserakannya informasi mengenai anarkis dan sindikalis di Indonesia. Penulis buku ini dapat melampaui hambatan-hambatan tersebut.

Menelusuri jejak anarkisme dan sindikalisme di Indonesia lalu menuliskannya sebagai historiografi lebih sulit dibanding dengan penelitian dengan tema serupa pada skup waktu yang tidak terlalu lampau. Bukan hanya pada hambatan pencarian data-data primer namun juga sulitnya menilai tendensi anarkisme atau sindikalisme pada kelompok atau individu yang tidak mengklaim atau memproklamirkan dirinya sebagai anarkis atau sindikalis. Berbeda dengan kelompok anarkis atau sindikalis hari ini yang dapat dengan mudah ditemukan melalui nama yang sekaligus menjadi identitas politik kelompok dan individu yang disematkan oleh dirinya sendiri. Dilihat dari sumber data dan bibliografi pada buku ini nampak bahwa pencarian dan pengumpulan data banyak didapatkan dari dokumen dan arsip tulisan baik itu yang ditulis oleh individu yang dinilai sebagai anarkis itu sendiri atau penilaian dari pihak lain yang sezaman.

Nama Alimin Prawirodirdjo dan Ernest Douwes Dekker cukup familiar dikenal sebagai dua tokoh yang karena aktivitas politiknya diganjar gelar pahlawan oleh pemerintah Orde Lama. Tokoh pertama lebih dikenal sebagai tokoh komunis sedangkan yang kedua dianggap berjasa karena sikap nasionalisnya namun siapa sangka bahwa kedua tokoh ini di masa mudanya cenderung mendekap tendensi politik anarkis sebagaimana yang dipaparkan dalam bagian 2 dan bagian 3 buku ini. Pada buku ini juga dijelaskan bahwa dalam kondisi zaman di mana munculnya kesadaran politik dan gerakan anti kolonialisme di tanah jajahan di awal abad ke-20, paham anarkis dan sindikalis masuk ke Hindia Belanda ikut terbawa oleh para aktivis buruh dari Belanda. Pemikiran politik tersebut menyemai di kalangan intelektual muda yang mendorong kelompok sosial baru itu menjadi aktor-aktor utama gerakan politik buruh yang tidak hanya menuntut perbaikan kesejahteraan buruh namun juga berusaha melawan otoritas negara kolonial.

Perlu sedikit ditambahkan bahwa ragam pemikiran politik radikal yang berasal dari Eropa di tahun-tahun pergerakan tersebut lumrah diserap oleh sekelompok kecil intelektual muda yang melek huruf dan dapat berbahasa asing, banyak di antaranya bahkan poliglot, di antara jutaan rakyat negeri jajahan yang buta huruf melalui buku atau literatur berbahasa asing. Sebenarnya tidaklah terlalu mengherankan jika pada akhirnya tendensi anarkis dan sindikalis dapat bersemai di Hindia Belanda karena pada kelompok lainnya seperti kelompok nasionalis dan kelompok Islam, terutama yang pernah dekat dengan lingkaran elit Sarikat Islam awal, pun literatur-literatur radikal dari Eropa tersebut beredar. Sebagai contoh, seorang Kasman Singodimedjo yang dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah dan salah satu pendukung paling keras agar Islam dijadikan dasar negara Indonesia pun dapat mengutip buah pemikiran tokoh komunis seperti Rosa Luxemburg sambil menunjuk kutipan lainnya dari Al-Qur’an untuk mempertegas sikap politiknya.[2] Seorang Soekarno pun sampai merasa harus memberikan pandangannya tentang anarkisme, sebagai mana yang tertulis dalam tulisan berjudul Anarchisme yang dimuat pada majalah Fikiran Ra’jat pada 1932 (halaman 165 pada buku ini).

Buku ini menjelaskan kecenderungan anarkis dan sindikalis dalam tubuh kelompok yang digeneralisir sebagai komunis saat masa kolonial dan menunjukan aksinya tidak hanya pada apa yang dikenal sebagai insurgensi PKI pada 1926 untuk melawan kolonial Belanda namun juga di tahun-tahun revolusi setelah negara Indonesia lahir. Insurgensi yang dilancarkan oleh kelompok-kelompok sosial yang tereksploitasi tidak serta merta dapat disimpulkan sebagai pencerminan nasionalisme. Kesimpulan yang sama juga dapat ditemukan dalam karya lainnya mengenai pemberontakan komunis pada 1927 di Silungkang, Sumatera Barat, karya Mestika Zed yang melihat bahwa keluhan ekonomi dan sosial menjadi akar munculnya militansi dan terjadinya kekerasan merupakan jalan terakhir setelah serangkaian protes sebelumnya tidak pernah berhasil. Bahkan pada peristiwa di tanah Minang tersebut meski adanya pengorganisiran oleh PKI namun saat mendekati klimaks justru absennya patronase kepemimpinan yang hirarkis. Hanya saja yang berbeda dalam analisanya, Mestika Zed melihat bahwa militansi tidak hanya dipengaruh ideologi semata juga karena budaya konflik yang hidup dalam suatu lingkungan tradisi yang ikut mempengaruhi bagaimana kelompok tersebut bertindak.[3]

Bagian 6 dan Bagian 7 dalam buku ini menceritakan bagaimana aksi dan sikap kelompok-kelompok bertendensi anarkis sindikalis setelah entitas negara Indonesia diproklamirkan. Jika di masa kolonial garis demarkasi ideologis dan kepentingan dapat lebih mudah dipetakan antara otoritas kolonial beserta birokrasinya dengan kelompok pergerakan penentang kolonialisme sehingga arah sasaran perlawanan lebih jelas, sementara dalam kondisi revolusi pasca 1945 keadaan menjadi lebih kompleks karena arsiran kepentingan politik dan ideologis yang saling bertautan dan terkadang tersembunyi di antara faksi-faksi pendukung kemerdekaan. Diskursus menarik dihadirkan pada bagian ini yang pada akhirnya dapat terpetakannya anatomi politik sindikalis melalui perdebatan antara kelompok yang menghendaki agar alat-alat produksi tetap berada dalam kontrol pekerja dengan kelompok lain yang menganggap bahwa alat-alat produksi harus berada dalam penguasaan otoritas negara. Pada bagian ini sorotan lebih ditujukan pada kontestasi politik dan kekuasaan antara pemerintah Republik dengan oposisi di mana kelompok-kelompok bertendensi sindikalis beraliansi dengan kelompok penentang pemerintah lainnya.

Jika melihat pada judul buku seharusnya buku ini berhenti pada penjelasan di titik 1948, tetapi penulis sepertinya berusaha memperlihatkan keterhubungan dan kontinyuitas antara apa yang terjadi sepanjang masa pergerakan sampai masa revolusi Indonesia dengan generasi anarkis Indonesia yang muncul di pertengahan 1990-an. Sedikit banyak buku ini menjelaskan bagaimana kemunculan kembali gerakan anarkis dan dinamikanya di Indonesia terutama kaitannya dengan skena punk sebagai inkubator awal penyemaian anarkisme di era modern. Namun sayangnya penjelasannya  tidak seimbang dengan bobot pemaparan mengenai anarkis sindikalis sepanjang periode 1908-1948 karena dengan meloncat jauh 50 tahun ke depan menjadikan proses transformasi sosial ekonomi seakan tidak memberikan pengaruh apapun terhadap kemunculan generasi baru anarkis.

Bila ditarik ke dalam perdebatan yang lebih ilmiah maka muncul beberapa rumusan mengenai generasi baru anarkis yang dapat didiskusikan lanjut. Pertama, basis sosial anarkis generasi baru ini muncul. Kelahirannya selalu disangkutpautkan dengan punk tetapi dalam konteks analisa kelas tempat penyemaiannya seakan tidak terlalu disinggung apalagi jika mengaitkan tumbuhnya skena punk dalam relasi perkembangan kapitalisme (baca : globalisasi) dan negara otoritarian dengan pertumbuhan kelas pekerja perkotaan. Kedua, jika generasi awal anarkis di Indonesia lebih banyak tersemai dan mendapat dukungan dari kelompok pekerja, seperti buruh kereta api, pelabuhan, atau pabrik, generasi baru anarkis di fase awal cenderung berada di luar kelompok-kelompok tersebut meskipun pada perkembangan selanjutnya ide-ide anarkis sindikalis mulai diikuti dengan pembangunan jejaring dengan kelompok-kelompok buruh perkotaan dan hadir di kantung-kantung konflik agraria di pedesaan. Ketiga, dalam pengorganisasian jika menilik pada buku ini maka generasi awal anarkis adalah mereka yang kemudian menjadi pemimpin gerakan, dengan kata lain sebagai elit. Namun bila melihat kecenderungan besar yang terjadi pada generasi baru anarkis di mana terdapat usaha menghindari kerja-kerja organisasi yang hirarkis dan elitisme dalam kolektif-kolektif anarkis.

Pada dasarnya buku ini penting bagi gerakan anarkis di Indonesia yang selama beberapa tahun sebelumnya belum mampu memunculkan historiografi yang menjelaskan landasan sejarah anarkisme di Indonesia sekaligus menjadi narasi alternatif dari literatur-literatur sejarah baik yang berasal dari versi negara atau versi kelompok kiri mapan yang terbuang. Menjadi narasi alternatif selain karena adanya kebaruan data, juga terletak pada perspektif penulisan : anarkis menuliskan sejarahnya sendiri.

***
[1] lihat review Jurnal Amorfati #4 di www.manifestun.blogspot.com/2010/10/amorfati-4.html

[2] lihat Remi Madinier. 2015. Islam and Politics in Indonesia : The Masyumi Party Between Democracy and Integralism. Singapore : NUS Press.

[3] lihat Mestika Zed. 2004. Pemberontakan Komunis Silungkang 1927 : Studi Gerakan Sosial di Sumatera Barat. Yogyakarta : Syarikat Indonesia.

No comments:

Post a Comment