Perang Yang
Tidak Akan Kita Menangkan : Anarkisme & Sindikalisme Dalam Pergerakan
Kolonial Hingga Revolusi Indonesia (1908-1948)
Penulis : Bima Satria Putra
Penerbit : Pustaka Catut
Tempat
Terbit : Yogyakarta
Tahun Terbit : 2018
Tebal
Halaman : 255 + xxiii
Beberapa
tahun lalu saya pernah mengkritik jurnal Amorfati tentang kesulitan pembaca
awam untuk melihat keterhubungan dan benang merah antara insureksi dan
pembangkangan sosial di luar negeri dengan apa yang terjadi di Indonesia. Salah
satu penekanannya ialah karena upaya untuk memperlihatkan keterhubungan
tersebut tidak didukung oleh data yang mumpuni atas berbagai peristiwa sejarah
di Indonesia. Oleh karena itu dengan keluarnya buku yang ditulis oleh Bima
Satria Putra ini, potongan sejarah yang hilang tentang sejarah anarkis
sindikalis di Indonesia dapat menjadi lebih terang.[1]
Dalam
resensi buku ini saya tidak akan menjelaskan kembali pengertian anarkis dan
sindikalis secara teoritis yang telah berulang kali diilustrasikan salah dan
disematkan keliru oleh media dan politisi sebagai label-label tertentu sebagai
penyederhanaan yang melenceng atas satu aliran pemikiran yang menentang
terminologi negara modern sebagai sesuatu yang alamiah dan dibutuhkan manusia.
Buku dari Bima Satria Putra ini tidak disusun sebagai karya teoritis tetapi
dalam pemaparannya anarkisme dan sindikalisme secara bertahap dapat
terdefinisikan serta memperlihatkan bagaimana keberadaan aliran pemikiran
tersebut pada irisannya dengan marxisme yang lebih hegemonik. Pembuktian bahwa
anarkisme dan sindikalisme hadir di Indonesia sejak lama tidak hanya dalam
tataran teoritis namun pada praksis dapat saya simpulkan merupakan tujuan utama
karya hasil penelitian ini disusun.
Sebelum buku
ini keluar, beberapa usaha dilakukan oleh kelompok anarkis di Indonesia untuk
menjelaskan bahwa tendensi anarkisme pernah aktif terutama di kalangan buruh
dan kelompok kiri di luar Partai Komunis Indonesia. Kenapa usaha-usaha tersebut
tidak begitu berhasil? Pertama, sebelumnya tidak pernah ada orang yang berasal
dari lingkungan anarkis yang mempunyai ketertarikan serius menggali dan
memiliki kemampuan menyusun puzzle-puzzle
sejarah anarkis di Indonesia dengan metode sejarah yang benar. Apa yang muncul
sebelumnya hanya cukilan-cukilan kisah dengan konteks revolusi Indonesia yang
menggambarkan bagaimana gerakan kolektif dari kelompok sosial yang
tereksploitasi untuk menumbangkan otoritas kolonial dan menolak tunduk pada
otoritas baru (baca : Republik Indonesia). Kedua, masih adanya prasangka kolot
yang terwariskan dari kekanak-kanakannya pertengkaran antara Bakunin dan Marx
dari kelompok anarkis terhadap marxisme sehingga sedikit banyak menghindari
pembacaan atas buku atau literatur yang menuliskan tentang sejarah komunis atau
yang dituliskan oleh kalangan komunis bahkan nasionalis. Sikap tersebut pada
akhirnya menghambat proses pencarian data yang justru pada literatur-literatur
tersebut berserakannya informasi mengenai anarkis dan sindikalis di Indonesia.
Penulis buku ini dapat melampaui hambatan-hambatan tersebut.
Menelusuri
jejak anarkisme dan sindikalisme di Indonesia lalu menuliskannya sebagai
historiografi lebih sulit dibanding dengan penelitian dengan tema serupa pada
skup waktu yang tidak terlalu lampau. Bukan hanya pada hambatan pencarian
data-data primer namun juga sulitnya menilai tendensi anarkisme atau
sindikalisme pada kelompok atau individu yang tidak mengklaim atau
memproklamirkan dirinya sebagai anarkis atau sindikalis. Berbeda dengan
kelompok anarkis atau sindikalis hari ini yang dapat dengan mudah ditemukan
melalui nama yang sekaligus menjadi identitas politik kelompok dan individu
yang disematkan oleh dirinya sendiri. Dilihat dari sumber data dan bibliografi
pada buku ini nampak bahwa pencarian dan pengumpulan data banyak didapatkan
dari dokumen dan arsip tulisan baik itu yang ditulis oleh individu yang dinilai
sebagai anarkis itu sendiri atau penilaian dari pihak lain yang sezaman.
Nama Alimin
Prawirodirdjo dan Ernest Douwes Dekker cukup familiar dikenal sebagai dua tokoh
yang karena aktivitas politiknya diganjar gelar pahlawan oleh pemerintah Orde
Lama. Tokoh pertama lebih dikenal sebagai tokoh komunis sedangkan yang kedua
dianggap berjasa karena sikap nasionalisnya namun siapa sangka bahwa kedua
tokoh ini di masa mudanya cenderung mendekap tendensi politik anarkis
sebagaimana yang dipaparkan dalam bagian 2 dan bagian 3 buku ini. Pada buku ini
juga dijelaskan bahwa dalam kondisi zaman di mana munculnya kesadaran politik
dan gerakan anti kolonialisme di tanah jajahan di awal abad ke-20, paham
anarkis dan sindikalis masuk ke Hindia Belanda ikut terbawa oleh para aktivis
buruh dari Belanda. Pemikiran politik tersebut menyemai di kalangan intelektual
muda yang mendorong kelompok sosial baru itu menjadi aktor-aktor utama gerakan
politik buruh yang tidak hanya menuntut perbaikan kesejahteraan buruh namun
juga berusaha melawan otoritas negara kolonial.
Perlu
sedikit ditambahkan bahwa ragam pemikiran politik radikal yang berasal dari
Eropa di tahun-tahun pergerakan tersebut lumrah diserap oleh sekelompok kecil
intelektual muda yang melek huruf dan dapat berbahasa asing, banyak di
antaranya bahkan poliglot, di antara jutaan rakyat negeri jajahan yang buta
huruf melalui buku atau literatur berbahasa asing. Sebenarnya tidaklah terlalu
mengherankan jika pada akhirnya tendensi anarkis dan sindikalis dapat bersemai
di Hindia Belanda karena pada kelompok lainnya seperti kelompok nasionalis dan
kelompok Islam, terutama yang pernah dekat dengan lingkaran elit Sarikat Islam
awal, pun literatur-literatur radikal dari Eropa tersebut beredar. Sebagai
contoh, seorang Kasman Singodimedjo yang dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah dan
salah satu pendukung paling keras agar Islam dijadikan dasar negara Indonesia
pun dapat mengutip buah pemikiran tokoh komunis seperti Rosa Luxemburg sambil
menunjuk kutipan lainnya dari Al-Qur’an untuk mempertegas sikap politiknya.[2]
Seorang Soekarno pun sampai merasa harus memberikan pandangannya tentang
anarkisme, sebagai mana yang tertulis dalam tulisan berjudul Anarchisme yang dimuat pada majalah Fikiran Ra’jat pada 1932 (halaman 165
pada buku ini).
Buku ini
menjelaskan kecenderungan anarkis dan sindikalis dalam tubuh kelompok yang
digeneralisir sebagai komunis saat masa kolonial dan menunjukan aksinya tidak
hanya pada apa yang dikenal sebagai insurgensi PKI pada 1926 untuk melawan
kolonial Belanda namun juga di tahun-tahun revolusi setelah negara Indonesia
lahir. Insurgensi yang dilancarkan oleh kelompok-kelompok sosial yang
tereksploitasi tidak serta merta dapat disimpulkan sebagai pencerminan
nasionalisme. Kesimpulan yang sama juga dapat ditemukan dalam karya lainnya
mengenai pemberontakan komunis pada 1927 di Silungkang, Sumatera Barat, karya
Mestika Zed yang melihat bahwa keluhan ekonomi dan sosial menjadi akar
munculnya militansi dan terjadinya kekerasan merupakan jalan terakhir setelah
serangkaian protes sebelumnya tidak pernah berhasil. Bahkan pada peristiwa di
tanah Minang tersebut meski adanya pengorganisiran oleh PKI namun saat mendekati
klimaks justru absennya patronase kepemimpinan yang hirarkis. Hanya saja yang
berbeda dalam analisanya, Mestika Zed melihat bahwa militansi tidak hanya
dipengaruh ideologi semata juga karena budaya konflik yang hidup dalam suatu
lingkungan tradisi yang ikut mempengaruhi bagaimana kelompok tersebut
bertindak.[3]
Bagian 6 dan
Bagian 7 dalam buku ini menceritakan bagaimana aksi dan sikap kelompok-kelompok
bertendensi anarkis sindikalis setelah entitas negara Indonesia diproklamirkan.
Jika di masa kolonial garis demarkasi ideologis dan kepentingan dapat lebih
mudah dipetakan antara otoritas kolonial beserta birokrasinya dengan kelompok
pergerakan penentang kolonialisme sehingga arah sasaran perlawanan lebih jelas,
sementara dalam kondisi revolusi pasca 1945 keadaan menjadi lebih kompleks
karena arsiran kepentingan politik dan ideologis yang saling bertautan dan
terkadang tersembunyi di antara faksi-faksi pendukung kemerdekaan. Diskursus
menarik dihadirkan pada bagian ini yang pada akhirnya dapat terpetakannya
anatomi politik sindikalis melalui perdebatan antara kelompok yang menghendaki
agar alat-alat produksi tetap berada dalam kontrol pekerja dengan kelompok lain
yang menganggap bahwa alat-alat produksi harus berada dalam penguasaan otoritas
negara. Pada bagian ini sorotan lebih ditujukan pada kontestasi politik dan
kekuasaan antara pemerintah Republik dengan oposisi di mana kelompok-kelompok
bertendensi sindikalis beraliansi dengan kelompok penentang pemerintah lainnya.
Jika melihat
pada judul buku seharusnya buku ini berhenti pada penjelasan di titik 1948,
tetapi penulis sepertinya berusaha memperlihatkan keterhubungan dan
kontinyuitas antara apa yang terjadi sepanjang masa pergerakan sampai masa
revolusi Indonesia dengan generasi anarkis Indonesia yang muncul di pertengahan
1990-an. Sedikit banyak buku ini menjelaskan bagaimana kemunculan kembali
gerakan anarkis dan dinamikanya di Indonesia terutama kaitannya dengan skena
punk sebagai inkubator awal penyemaian anarkisme di era modern. Namun sayangnya
penjelasannya tidak seimbang dengan
bobot pemaparan mengenai anarkis sindikalis sepanjang periode 1908-1948 karena
dengan meloncat jauh 50 tahun ke depan menjadikan proses transformasi sosial
ekonomi seakan tidak memberikan pengaruh apapun terhadap kemunculan generasi
baru anarkis.
Bila ditarik
ke dalam perdebatan yang lebih ilmiah maka muncul beberapa rumusan mengenai
generasi baru anarkis yang dapat didiskusikan lanjut. Pertama, basis sosial
anarkis generasi baru ini muncul. Kelahirannya selalu disangkutpautkan dengan
punk tetapi dalam konteks analisa kelas tempat penyemaiannya seakan tidak
terlalu disinggung apalagi jika mengaitkan tumbuhnya skena punk dalam relasi
perkembangan kapitalisme (baca : globalisasi) dan negara otoritarian dengan
pertumbuhan kelas pekerja perkotaan. Kedua, jika generasi awal anarkis di
Indonesia lebih banyak tersemai dan mendapat dukungan dari kelompok pekerja,
seperti buruh kereta api, pelabuhan, atau pabrik, generasi baru anarkis di fase
awal cenderung berada di luar kelompok-kelompok tersebut meskipun pada
perkembangan selanjutnya ide-ide anarkis sindikalis mulai diikuti dengan
pembangunan jejaring dengan kelompok-kelompok buruh perkotaan dan hadir di
kantung-kantung konflik agraria di pedesaan. Ketiga, dalam pengorganisasian
jika menilik pada buku ini maka generasi awal anarkis adalah mereka yang
kemudian menjadi pemimpin gerakan, dengan kata lain sebagai elit. Namun bila
melihat kecenderungan besar yang terjadi pada generasi baru anarkis di mana
terdapat usaha menghindari kerja-kerja organisasi yang hirarkis dan elitisme
dalam kolektif-kolektif anarkis.
Pada
dasarnya buku ini penting bagi gerakan anarkis di Indonesia yang selama
beberapa tahun sebelumnya belum mampu memunculkan historiografi yang
menjelaskan landasan sejarah anarkisme di Indonesia sekaligus menjadi narasi
alternatif dari literatur-literatur sejarah baik yang berasal dari versi negara
atau versi kelompok kiri mapan yang terbuang. Menjadi narasi alternatif selain
karena adanya kebaruan data, juga terletak pada perspektif penulisan : anarkis
menuliskan sejarahnya sendiri.
***
[1] lihat
review Jurnal Amorfati #4 di www.manifestun.blogspot.com/2010/10/amorfati-4.html
[2] lihat
Remi Madinier. 2015. Islam and Politics in Indonesia :
The Masyumi Party Between Democracy and Integralism. Singapore : NUS Press.
[3] lihat
Mestika Zed. 2004. Pemberontakan Komunis
Silungkang 1927 : Studi Gerakan Sosial di Sumatera Barat. Yogyakarta :
Syarikat Indonesia.
No comments:
Post a Comment