interview ini adalah salah satu bagian dari hasil laporan
penelitian saya mengenai musik melayu di Palembang, dan beberapa bagian dibuat lebih ringkas daripada versi laporannya.
Wawancara dilakukan sekitar pertengahan Oktober 2017. Melalui tulisan ini, saya
haturkan terima kasih untuk Taxlan yang telah banyak membantu saat proses
interview dengan para personel Diroad. tabik.
Diroad
: Sebuah Awal Perjalanan
Saat mulai sedikit frustasi
karena sukarnya menemui mantan personel Semakbelukar yang enggan untuk
diwawancarai mengenai babakan kehidupan sebelumnya bersama Semakbelukar,
sementara deadline laporan penelitian
sudah dalam hitungan minggu, tanpa diduga sebuah CD kompilasi bertajuk “Stand
With Cinde” keluar. Berisi empat musisi dan band folk dari Palembang yang menyumbang karyanya untuk direkam pada
sebuah karya kompilasi yang penjualannya tersebut akan didonasikan untuk
kegiatan mengorganisir aksi penolakan atas pembongkaran Pasar Cinde. CD “Stand
With Cinde” dibuat secara kolektif oleh beberapa komunitas di Palembang, baik
organizer maupun artis secara sukarela mengerjakannya sebagai kontribusi
kepedulian pada isu-isu kota.
Salah satu artis dalam CD
“Stand With Cinde” yakni Diroad yang memainkan lagu berjudul “Pilumu Cinde”.
Musiknya sedikit banyak langsung mengingatkan pada Guritan, musik tradisi
rakyat daerah Pasemah/Basemah, Sumatera Selatan. Pada lagu “Pilumu Cinde”,
elemen suara gitar tunggal khas musik tradisional Pasemah dikombinasi dengan
suara cello menjadi terdengar lebih megah, disempurnakan oleh lirik yang
bercerita mengenai kepiluan atas pembongkaran Pasar Cinde, sebuah bangunan
cagar budaya yang memiliki arti historis dalam perkembangan Kota Palembang.
Meski terhitung band baru, akar melayu yang dibawakan pada musiknya langsung
menggiring perhatian.
Setelah mengumpulkan
informasi dan melihat dokumentasi penampilan Diroad melalui Youtube, penulis pastikan
bahwa Diroad harus ditemui dan diwawancarai. Proses pencarian kontak dari
personel Diroad cukup mudah. Setelah berhasil mengontak Riyan Koeswara, seorang
personel Diroad, akhirnya disepakati untuk melakukan wawancara di sebuah cafe
di bilangan Bukit Kecil, Palembang. Penulis kira awalnya hanya Riyan saja yang
akan datang, ternyata dua personel Diroad lainnya, Hendi Hidayat dan Intan
Rizky Heryana, datang juga. Seorang pemain gendang additional menyusul datang saat wawancara tengah berjalan. Seorang
personel lainnya, Hafiz Riswandi, berhalangan hadir malam itu. Malam itu Riyan
lebih banyak bercerita, menjadi jubir menjelaskan dan menjawab banyak
pertanyaan mengenai Diroad.
Sebelum mendirikan Diroad,
Riyan dan Hendi sendiri sudah sering terlihat tampil di acara-acara musik di
Palembang bersama bandnya yang lain, Black Coffee Ice. Diroad adalah proyek
lain dari kedua orang ini, untuk mengartikulasi ide-ide yang lain di luar
konsep reggae yang dimainkan pada Black Coffee Ice. Sedangkan Intan, adalah
seorang vokalis dari sebuah band bergenre R&B, yang dengan keterlibatannya
di Diroad merupakan tantangan mengeksplorasi kualitas vokalnya untuk bernyanyi
dengan cengkok melayu.
Menurut Riyan dan Hendi,
inspirasi ide musik Diroad sebagian besar datang saat mereka tengah berada di
perjalanan. Di dalam kendaraan atau sedang bermotor ide-ide biasanya muncul
tiba-tiba. Karena itu juga mereka menggunakan nama Diroad, yang secara literer
diartikan “di” dan “road” (bahasa inggris untuk jalan). Nama Diroad memang
mengingatkan pada nyanyian rakyat dari daerah Pasemah berjudul “dirut’, yang
berkisah tentang sosok seorang anak yang ditinggal bapak dan ibunya pergi, lalu
dibesarkan oleh kakek neneknya. Hal tersebut diakui juga oleh para personel
Diroad pada awalnya band tersebut hendak diberi nama Dirut namun urung karena
khawatir akan membawa permasalahan terkait beberapa daerah dan musisi yang
mengklaim sebagai pemilik sah lagu “Dirut”.
“Awalnya ingin pure etnik melayu, tapi kalau musiknya
dibikin cak itu nanti yang
dengerinnya orang umur empat puluh ke pucuk. Sehingga cak mano caranya, kami, seumuran kami, di bawah kami, bisa tertarik
dengerin musik etnik melayu. Salah satu caranya digabungin musik etnik melayu
dengan modern”, jawab Riyan saat ditanya konsep musik yang dibawakan Diroad.
Para personel Diroad mengakui bahwa musik melayu di Kota Palembang hampir
terlupakan, karena itu salah cara agar musik melayu layak untuk digemari dan
kembali diapresiasi ialah melalui inovasi. “inginnya mengangkat budaya tapi ga
ketinggalan zaman.” tambah Hendi.
Tidak melulu musik etnik
yang berasal dari Sumatera Selatan, sapek dari Kalimantan dan suara saluang
dari Sumatera Barat ikut dikombinasikan dalam repertoar musik Diroad. Dalam
beberapa lagunya, Diroad menggunakan dua bahasa, bahasa Indonesia dan Pasemah.
Hal ini dilakukan untuk memperkuat garis etnik dalam musik Diroad. Begitu pun
dengan konsep pertunjukan ideal yang bagi mereka pertunjukan ideal layaknya
pembacaan syair tradisional. Baik penonton dan band berada dalam sebuah ruang
di mana duduk sama rata, melebur batas antara penghibur dan yang dihibur.
Dalam proses kreatif, Riyan
menjelaskan bahwa biasanya dalam menciptakan sebuah lagu inspirasinya datang
tanpa diduga, spontan muncul di benak pikiran. Begitu pun dengan lirik yang
idenya bisa datang dari mana pun bahkan dari obrolan. Penyempurnaan dilakukan
kemudian dengan melibatkan personel yang lain. Setiap personel Diroad mempunyai
tugasnya masing-masing, jika Riyan dan Hendi lebih banyak mengaransemen musik,
maka Hafiz bertanggung jawab untuk membangun konsep artwork Diroad, salah satu
yang tengah dikerjakannya ialah meriset aksara Kaganga untuk dimodifikasi
menjadi salah satu elemen artwork. Begitu pun dengan Indah yang lebih pada
mengurus public relation band,
seperti mengelola akun media sosial milik Diroad dan berinteraksi dengan publik
melalui platform tersebut.
Saat ini Diroad tengah
menggarap beberapa lagu baru yang salah satunya berjudul Halona. “Halona” juga
akan digunakan sebagai judul album mendatang dari Diroad. “Halona” yang dalam
bahasa India artinya keberuntungan dianggap sesuai digunakan untuk judul album
karena mengandung nilai filosofisnya. Menurut Riyan “Bahwa dari semua yang kita
jalanin itu tidak ada yang namanya sia-sia, walaupun kita selangkah memungut
sampah siko itu sudah adalah nilai yang sangat berarti walaupun tidak ada
nominal uang.”
“Awalnya lagu itu dak ado,
dak ado dalam konsep kito untuk bikin. cuman dari obrolan lama-lama aku gerem
jugo (dengan pembongkaran pasar Cinde –pen), apa sih yang biso aku kasih sebagai
wong Sumatera Selatan”, jelas Riyan tentang keterlibatan mereka pada kompilasi
Stand With Cinde. Keterpanggilan mereka untuk berkontribusi dalam
mempertahankan nilai historis pada bangunan Pasar Cinde yang mendorong mereka
untuk membuat lagu “Pilumu Cinde”. “Ketika kagek kami punya anak, dan anak kami
punya anak, dak ada lagi Cinde, dia cuman tau cerita di sini pernah ada Cinde”,
pikir Riyan.
“Oh satu lagi, mas.
Semakbelukar! Ya Semakbelukar. Semakbelukar yang mempengaruhi kami untuk
memainkan musik melayu. Kalau bisa kami ingin sekali seperti Semakbelukar” ujar
Riyan, tepat sebelum tombol stop pada recorder ditekan untuk mengakhiri
rekaman. Pernyataan Rian ditegaskan juga oleh Hendi, “iya bener, Semakbelukar”.
Riyan dan Hendi menambahkan jawaban atas pertanyaan saya sebelumnya mengenai
musisi mana saja yang mempengaruhi Diroad. Sebelumnya secara spontan Riyan dan
Hendi menyebut Depapepe, duo gitar akustik dari Jepang, dan Sahilin, seorang
penyanyi melayu tradisional, sebagai musisi yang memberi pengaruh pada konsep
musik Diroad. Begitu mendengar pernyataan dari personel Diroad, lalu penulis
jelaskan pada personel Diroad mengenai proses mengontak orang-orang di balik
Semakbelukar, yang kembali memantik obrolan lebih panjang lagi. Alat rekam yang
hampir dimatikan kembali harus diposisikan untuk merekam. Wawancara yang
sebenarnya lebih mirip obrolan kembali berlanjut sampai menjelang tengah malam,
membincangkan tentang musik, budaya melayu, dan kondisi skena indie di Palembang.
--
Contact
Instagram : @_diroad
Youtube : https://www.youtube.com/channel/UCy-ZeT8tBES_4v3xKFEeSCg
No comments:
Post a Comment