February 11, 2018

Diroad : Sebuah Awal Perjalanan


interview ini adalah salah satu bagian dari hasil laporan penelitian saya mengenai musik melayu di Palembang, dan beberapa bagian dibuat lebih ringkas daripada versi laporannya. Wawancara dilakukan sekitar pertengahan Oktober 2017. Melalui tulisan ini, saya haturkan terima kasih untuk Taxlan yang telah banyak membantu saat proses interview dengan para personel Diroad. tabik.

Diroad : Sebuah Awal Perjalanan
Saat mulai sedikit frustasi karena sukarnya menemui mantan personel Semakbelukar yang enggan untuk diwawancarai mengenai babakan kehidupan sebelumnya bersama Semakbelukar, sementara deadline laporan penelitian sudah dalam hitungan minggu, tanpa diduga sebuah CD kompilasi bertajuk “Stand With Cinde” keluar. Berisi empat musisi dan band folk dari Palembang yang menyumbang karyanya untuk direkam pada sebuah karya kompilasi yang penjualannya tersebut akan didonasikan untuk kegiatan mengorganisir aksi penolakan atas pembongkaran Pasar Cinde. CD “Stand With Cinde” dibuat secara kolektif oleh beberapa komunitas di Palembang, baik organizer maupun artis secara sukarela mengerjakannya sebagai kontribusi kepedulian pada isu-isu kota.


Salah satu artis dalam CD “Stand With Cinde” yakni Diroad yang memainkan lagu berjudul “Pilumu Cinde”. Musiknya sedikit banyak langsung mengingatkan pada Guritan, musik tradisi rakyat daerah Pasemah/Basemah, Sumatera Selatan. Pada lagu “Pilumu Cinde”, elemen suara gitar tunggal khas musik tradisional Pasemah dikombinasi dengan suara cello menjadi terdengar lebih megah, disempurnakan oleh lirik yang bercerita mengenai kepiluan atas pembongkaran Pasar Cinde, sebuah bangunan cagar budaya yang memiliki arti historis dalam perkembangan Kota Palembang. Meski terhitung band baru, akar melayu yang dibawakan pada musiknya langsung menggiring perhatian.

Setelah mengumpulkan informasi dan melihat dokumentasi penampilan Diroad melalui Youtube, penulis pastikan bahwa Diroad harus ditemui dan diwawancarai. Proses pencarian kontak dari personel Diroad cukup mudah. Setelah berhasil mengontak Riyan Koeswara, seorang personel Diroad, akhirnya disepakati untuk melakukan wawancara di sebuah cafe di bilangan Bukit Kecil, Palembang. Penulis kira awalnya hanya Riyan saja yang akan datang, ternyata dua personel Diroad lainnya, Hendi Hidayat dan Intan Rizky Heryana, datang juga. Seorang pemain gendang additional menyusul datang saat wawancara tengah berjalan. Seorang personel lainnya, Hafiz Riswandi, berhalangan hadir malam itu. Malam itu Riyan lebih banyak bercerita, menjadi jubir menjelaskan dan menjawab banyak pertanyaan mengenai Diroad.

Sebelum mendirikan Diroad, Riyan dan Hendi sendiri sudah sering terlihat tampil di acara-acara musik di Palembang bersama bandnya yang lain, Black Coffee Ice. Diroad adalah proyek lain dari kedua orang ini, untuk mengartikulasi ide-ide yang lain di luar konsep reggae yang dimainkan pada Black Coffee Ice. Sedangkan Intan, adalah seorang vokalis dari sebuah band bergenre R&B, yang dengan keterlibatannya di Diroad merupakan tantangan mengeksplorasi kualitas vokalnya untuk bernyanyi dengan cengkok melayu.

Menurut Riyan dan Hendi, inspirasi ide musik Diroad sebagian besar datang saat mereka tengah berada di perjalanan. Di dalam kendaraan atau sedang bermotor ide-ide biasanya muncul tiba-tiba. Karena itu juga mereka menggunakan nama Diroad, yang secara literer diartikan “di” dan “road” (bahasa inggris untuk jalan). Nama Diroad memang mengingatkan pada nyanyian rakyat dari daerah Pasemah berjudul “dirut’, yang berkisah tentang sosok seorang anak yang ditinggal bapak dan ibunya pergi, lalu dibesarkan oleh kakek neneknya. Hal tersebut diakui juga oleh para personel Diroad pada awalnya band tersebut hendak diberi nama Dirut namun urung karena khawatir akan membawa permasalahan terkait beberapa daerah dan musisi yang mengklaim sebagai pemilik sah lagu “Dirut”.

“Awalnya ingin pure etnik melayu, tapi kalau musiknya dibikin cak itu nanti yang dengerinnya orang umur empat puluh ke pucuk. Sehingga cak mano caranya, kami, seumuran kami, di bawah kami, bisa tertarik dengerin musik etnik melayu. Salah satu caranya digabungin musik etnik melayu dengan modern”, jawab Riyan saat ditanya konsep musik yang dibawakan Diroad. Para personel Diroad mengakui bahwa musik melayu di Kota Palembang hampir terlupakan, karena itu salah cara agar musik melayu layak untuk digemari dan kembali diapresiasi ialah melalui inovasi. “inginnya mengangkat budaya tapi ga ketinggalan zaman.” tambah Hendi.

Tidak melulu musik etnik yang berasal dari Sumatera Selatan, sapek dari Kalimantan dan suara saluang dari Sumatera Barat ikut dikombinasikan dalam repertoar musik Diroad. Dalam beberapa lagunya, Diroad menggunakan dua bahasa, bahasa Indonesia dan Pasemah. Hal ini dilakukan untuk memperkuat garis etnik dalam musik Diroad. Begitu pun dengan konsep pertunjukan ideal yang bagi mereka pertunjukan ideal layaknya pembacaan syair tradisional. Baik penonton dan band berada dalam sebuah ruang di mana duduk sama rata, melebur batas antara penghibur dan yang dihibur.

Dalam proses kreatif, Riyan menjelaskan bahwa biasanya dalam menciptakan sebuah lagu inspirasinya datang tanpa diduga, spontan muncul di benak pikiran. Begitu pun dengan lirik yang idenya bisa datang dari mana pun bahkan dari obrolan. Penyempurnaan dilakukan kemudian dengan melibatkan personel yang lain. Setiap personel Diroad mempunyai tugasnya masing-masing, jika Riyan dan Hendi lebih banyak mengaransemen musik, maka Hafiz bertanggung jawab untuk membangun konsep artwork Diroad, salah satu yang tengah dikerjakannya ialah meriset aksara Kaganga untuk dimodifikasi menjadi salah satu elemen artwork. Begitu pun dengan Indah yang lebih pada mengurus public relation band, seperti mengelola akun media sosial milik Diroad dan berinteraksi dengan publik melalui platform tersebut.

Saat ini Diroad tengah menggarap beberapa lagu baru yang salah satunya berjudul Halona. “Halona” juga akan digunakan sebagai judul album mendatang dari Diroad. “Halona” yang dalam bahasa India artinya keberuntungan dianggap sesuai digunakan untuk judul album karena mengandung nilai filosofisnya. Menurut Riyan “Bahwa dari semua yang kita jalanin itu tidak ada yang namanya sia-sia, walaupun kita selangkah memungut sampah siko itu sudah adalah nilai yang sangat berarti walaupun tidak ada nominal uang.”

“Awalnya lagu itu dak ado, dak ado dalam konsep kito untuk bikin. cuman dari obrolan lama-lama aku gerem jugo (dengan pembongkaran pasar Cinde –pen), apa sih yang biso aku kasih sebagai wong Sumatera Selatan”, jelas Riyan tentang keterlibatan mereka pada kompilasi Stand With Cinde. Keterpanggilan mereka untuk berkontribusi dalam mempertahankan nilai historis pada bangunan Pasar Cinde yang mendorong mereka untuk membuat lagu “Pilumu Cinde”. “Ketika kagek kami punya anak, dan anak kami punya anak, dak ada lagi Cinde, dia cuman tau cerita di sini pernah ada Cinde”, pikir Riyan.

“Oh satu lagi, mas. Semakbelukar! Ya Semakbelukar. Semakbelukar yang mempengaruhi kami untuk memainkan musik melayu. Kalau bisa kami ingin sekali seperti Semakbelukar” ujar Riyan, tepat sebelum tombol stop pada recorder ditekan untuk mengakhiri rekaman. Pernyataan Rian ditegaskan juga oleh Hendi, “iya bener, Semakbelukar”. Riyan dan Hendi menambahkan jawaban atas pertanyaan saya sebelumnya mengenai musisi mana saja yang mempengaruhi Diroad. Sebelumnya secara spontan Riyan dan Hendi menyebut Depapepe, duo gitar akustik dari Jepang, dan Sahilin, seorang penyanyi melayu tradisional, sebagai musisi yang memberi pengaruh pada konsep musik Diroad. Begitu mendengar pernyataan dari personel Diroad, lalu penulis jelaskan pada personel Diroad mengenai proses mengontak orang-orang di balik Semakbelukar, yang kembali memantik obrolan lebih panjang lagi. Alat rekam yang hampir dimatikan kembali harus diposisikan untuk merekam. Wawancara yang sebenarnya lebih mirip obrolan kembali berlanjut sampai menjelang tengah malam, membincangkan tentang musik, budaya melayu, dan kondisi skena indie di Palembang.
--
Contact
Instagram : @_diroad
Youtube : https://www.youtube.com/channel/UCy-ZeT8tBES_4v3xKFEeSCg

No comments:

Post a Comment